Selamat Datang di "Coba Bercerita, Yuk!" Ada banyak makna di balik cerita, maka berceritalah melalui tulisan!

Jumat, 02 September 2011

Cerita Mereka : Jangan Siksa Si Sakit!

Oleh : Dyani T. Wardhyni

Diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri. “Jangan Siksa Si Sakit!” bercerita tentang busuknya para oknum tenaga kesehatan di lingkungan sarana kesehatan seperti rumah sakit, apotek, puskesmas dan toko obat. Pada kisah ini, penulis lebih menekankan pada Apotek dan Rumah Sakit karena keduanya saling berkaitan.
Apotek Karya yang terletak dibilangan Jakarta Timur, memperkerjakan tujuh orang karyawan yang terdiri dari: satu orang apoteker, empat orang asisten apoteker, satu orang administrasi dan satu orang cleaning service. Dengan pembagian waktu kerja untuk shift pagi dari pukul 08.00-14.30, dua orang karyawan yaitu satu orang AA dan satu orang adiminstrasi. Sedangkan shift sore pukul 14.30-21.00, terdiri dari tiga orang AA yang merangkap sebagai kasir, dan satu orang cleaning service bekerja dari mulai apotek buka sampai apotek tutup. Sedangkan Apoteker Penanggung Jawab Apotek (APA) mengunjungi apotek hanya satu bulan sekali.
Maryam (43 tahun) yang bekerja sebagai APA hanya datang sebulan sekali, itupun akhir bulan atau awal bulan hanya untuk menghitung gaji dan memberi gaji. Maryam di gaji Rp. 1.500.000, bahkan sebagian apotek ada yang lebih besar dan terkadang hanya ada yang menempelkan nama saja tanpa pernah datang sekalipun dan mereka tetap di gaji.
Apoteker yang tidak peduli dengan tanggung jawabnya, di kalangan apoteker biasa disebut “Apoteker Tekab” yaitu Apoteker yang taken langsung kabur. Profesi yang tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh ini memang menghasilkan begitu banyak uang tanpa mengeluarkan tenaga yang besar. Selain gaji, biasanya mereka juga mendapatkan potongan harga dari setiap obat yang dipesannya melalui PBF (Pedagang Besar Farmasi). Belum potongan harga dari PBF, adapula penambahan uang display bagi produsen yang ingin beriklan di apotek. Lagi-lagi pembagian hasil ini apoteker lah yang mendapatkan untung besar selain dari pemilik apoteknya sendiri.
Citra (20 tahun) yang bekerja sebagai asisten apoteker (AA) memiliki waktu kerja delapan jam penuh dengan gaji di bawah UMR Jakarta yaitu Rp. 650.000 terhitung tahun 2005 – 2006 tanpa tunjangan kesehatan dan fasilitas apapun. Citra bekerja sambil kuliah mengambil jurusan farmasi di universitas swasta. Mengambil waktu bekerja dari pukul 14.30-21.00 WIB. Jika kuliah padat sampai sore, maka waktu bekerja dan gaji pun otomatis berkurang. Apabila banyak pasien terpaksa jam pulang pun mundur. Pernah sewaktu ketika pulang hingga pukul 22.30 WIB. Gaji AA di apotek tersebut memiliki perbedaan setiap individunya berdasarkan lamanya waktu kerja, perbedaannya hanya berkisar Rp.50.000 sampai Rp.150.000.
Dr. Bion (55 tahun) Pemilik Sarana Apotek (PSA) yang bekerja di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta. Selain membuka apotek Dr. Bion juga membuka klinik di tempat yang sama dengan jadwal praktek setiap hari. Sayangnya Dr. Bion tidak standby di tempat, apabila ada pasien yang berobat, Dr. Bion langsung di telepon untuk datang ke klinik.
Menahan mental dan moral yang begitu besar menjadi bagian dari tanggung jawab tenaga kesehatan. Tanggung jawab kepada sesama dan tentunya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketika manusia diberikan cobaan yang begitu besar melalui penyakit oleh Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kita yang diberikan tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan dengan cara pengobatan, justru membuatnya bertambah sulit.
Bagi mereka yang mempunyai bisnis apotek terkadang tidak memperdulikan apa yang terjadi di lapangan. Uang yang diterima bagi apoteker dan PSA terkadang tidak sesuai dengan pekerjaan mereka. Memang semua tanggung jawab ada di tangan apoteker. Tetapi pada kenyataannya semua tanggung jawab ada pada asisten apoteker.
Pembelian dan Pelaporan Narkotika, yang seharusnya di bawah tanggung jawab dan dikerjakan oleh Apoteker, bahkan harus dikerjakan oleh AA dan sebagai apoteker hanya bisa memberi tanda tangan. Dan ini terjadi di Apotek tempat Citra bekerja.
Pada dasarnya penerimaan resep dan pengerjaannya pun harus di bawah tanggung jawab Apoteker. Dan saat pemberian obat ke pasien pun seharusnya dilakukan oleh Apoteker sekaligus memberi konseling, tetapi ini berbeda jauh dengan yang terjadi.
Suatu hari, Citra yang sedang bekerja shift sore, mendapatkan resep yang ditulis oleh Dr. Bion dan salah satu obat di dalam resep tersebut sudah Expired Date (ED). Citra tidak terima apa yang sudah dilakukan Dr. Bion. Lalu Citra pun mengajukan protes, bahwa obat yang diresepkan Dr. Bion sudah melewati batas pemakaian. Dr. Bion yang merasa lebih senior dan pastinya merasa dirinya seorang dokter, tidak terima atas pengajuan protes Citra. Alhasil Citra diberikan sedikit kuliah umum tentang obat ED yang masih bisa digunakan selama 3 bulan terhitung ED obat tersebut. Citra yang tidak peduli dengan teori tetap bersih keras bahwa ini menyangkut moral dan kejujuran. Lagipula Citra merasa iba dengan pasien tersebut yang dalam keadaan susah (sakit) harus menerima ketidakadilan.
Sedikit berdebat, pada akhirnya Citra kalah dan harus menuruti perintah Dr. Bion. Saat menyiapkan obat, dengan sombongnya Dr. Bion berdiri sambil tolak pinggang di belakang Citra yang sudah tidak punya pilihan. Obat yang ED itupun terpaksa diberikan pada pasien. Untuk menutupi tanggal expired obat tersebut, Citra menutupinya dengan etiket (kertas kecil untuk menuliskan aturan pemakaian obat yang terpisah dari botolnya). Merasa puas Dr. Bion pun meninggalkan Citra yang saat itu langsung memberikan obatnya kepada pasien.
Satu, dua kali Dr. Bion merasa semuanya berjalan lancar. Lagi-lagi Dr. Bion menuliskan obat ED, kali ini obat bukan dalam bentuk kemasan botol, melainkan dalam bentuk tablet. Cap ED pada kemasan pun sulit ditutupi, lalu Dr. Bion menyuruh Citra untuk mengambil alkohol dan kapas lalu menghapusnya. Cap ED pun hilang dengan mudah. Dr. Bion pun kembali puas, Citra dan karyawan lainnya hanya bisa menarik nafas tanpa bisa protes lagi. Mereka seakan di bungkam.
Pada akhirnya Citra dan kawan-kawan merasa hati nuraninya menjerit dan melaporkan ke atasan yang lain yaitu Ibu Maryam. Citra yang berharap mendapat pembelaan dan perlindungan dari Apotekernya, justru mendapatkan cemooh dengan mengatakan bahwa Citra hanyalah karyawan dan bukan siapa-siapa, maka ikutilah perintah Dr. Bion. Citra kecewa dan marah luar biasa.
Suatu hari saat Dr. Bion melakukan hal yang sama, Citra sengaja tidak menempelkan dengan erat etiket pada botol kemasan. Citra berharap etiket itu terlepas dan terlihat ED-nya oleh pasien dan hal itupun terjadi. Pasien tersebut datang kembali ke apotek dan klinik tersebut sambil marah-marah. Citra langsung melapor ke Dr. Bion. Tapi Dr. Bion yang seharusnya bertanggung jawab justru membiarkan Citra menanganinya sendiri. Sungguh keterlaluan, Citra hanya di anggap tumbal untuk meraih keuntungan yang besar dari penjualan obat.
Bukan hanya menghapus ED pada obat. Tetapi mengganti obat meskipun dengan isi dan khasiat yang sama tetapi tidak dilaporkan ke pasien pun harus dilakukan Citra. Pernah suatu ketika ada obat racikan, salah satu komposisi obat tersebut tidak dijual di apotek. Karena total harga obat racikan itu sangat besar, maka Dr. Bion meminta Citra untuk mengganti obat tersebut dengan obat lain yang sama isi dan khasiatnya. Lagi-lagi di bawah tekanan Citra mau saja menuruti, padahal harga obat yang diganti jauh lebih murah daripada obat aslinya. Maka keutungan dari penjualan obat itu masuk ke dalam kantong Dr. Bion.
Nasib Citra sebagai karyawan memang tidak bisa protes saat itu. Jika Citra protes pun Dr. Bion tidak pernah mendengarnya. Hal ini membuat Citra bertekad untuk sekolah lagi mengambil Profesi Apoteker. Citra berpikir akan lebih bertanggung jawab dibandingkan apoteker di tempat dia bekerja yang hanya mendapat gaji buta tanpa bekerja apa-apa.
Selain dari penghapusan ED pada obat, penggantian obat tanpa sepengetahuan pasien, pembulatan harga juga sering terjadi. 100-200 rupiah memang terbilang sedikit apabila hanya dilakukan sekali transaksi. Tapi jika ini dilakukan lebih dari duapuluh kali transaksi, berapa rupiah yang masuk ke kantong Dr. Bion secara tidak halal? Atau kembalian yang tidak diberikan dan menggantinya dengan permen. Lagi-lagi karyawan hanya bisa diam tanpa bertindak.
Ketidakadilan lainnya juga terlihat ketika Dr. Bion membawa beberapa obat yang dia ambil dari Rumah Sakit tempatnya bekerja. Dengan santainya Dr. Bion mengatakan bahwa obat tersebut adalah sisa dari pasien yang sengaja ditinggalkan di ruangan dan dibawa oleh perawat rumah sakit, lalu oleh Dr. Bion dibawa ke apotek untuk dijual. Sungguh tidak berperasaan. Obat-obat yang seharusnya terjamin keamanannya juga terkadang dibeli di pasar Pramuka yang mungkin saja terdapat juga obat palsu.
Banyak ketidakadilan yang dapat dilihat dan dirasa, khususnya oleh Citra. Karena shift sore Citra yang bertanggung jawab secara penuh, selain itu shift sore lebih banyak yang berobat dibandingkan shift pagi. Tapi justru Citra tidak pernah dihargai oleh Dr. Bion dan Ibu Maryam selaku apotekernya.
Saat orang lain menerima tambahan gaji, Citra justru tidak. Dan yang lebih menyakitkannya lagi, hal ini tidak diberitahu oleh kedua atasannya. Citra tahu ketika temannya bercerita. Citra kembali melayangkan protes. Lagi-lagi dibantah dengan mengatakan bahwa besarnya gaji akan disamaratakan dengan keempat karyawan lain. Tapi anehnya dari keempat karyawan, bahkan apoteker pun naik gaji, kecuali Citra. Mungkin ini disebabkan karena seringnya Citra protes meminta keadilan untuk para pasien yang secara tidak langsung meminta bantuan.
Tiga tahun lebih Citra bekerja tanpa mendapat keadilan dan ketenangan jiwa. Saat skripsi Citra memutuskan untuk resign menjadi AA, kembali melanjutkan kuliah sampai menjadi Apoteker. Citra berharap bisa memberikan rasa aman, adil dan memberikan kepercayaan kepada pasien yang datang berkunjung ke tempat pengabdiannya nanti.
Dua tahun berselang Dr. Bion tetap menjalankan praktek ketidakadilannya. Setidaknya begitulah cerita dua orang teman Citra yang masih betah berada di apotek dan klinik tersebut. Hingga akhirnya Dr. Bion mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Salah satu pasien mengalami keracunan obat hingga dilarikan ke Rumah Sakit. Keluarga korban pun menuntut apotek dan klinik tersebut. Dr. Bion dan Ibu Maryam mendapatkan sanksi kode etik profesi dan hukum. Tapi apakah proses hukum bagi keduanya akan berjalan adil? Biar bagaimanapun mereka akan tetap dibantu dan dilindungi oleh kode etik profesi, meskipun mereka salah. Tuhanlah Maha Tahu. Hukuman masyarakat dan ketidak percayaan orang-orang sekitar yang membuat mereka malu atas kesalahan yang diperbuat.
***
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Ide Cerita Film Antikorupsi yang diselenggarakan oleh Club Indonesia Bersih dan Transparency International Indonesia.

3 komentar:

Silahkan tinggalkan komentarnya....