Penulis : Dyani T. Wardhyni
01 Agustus 2011. Malam ini begitu dingin. Tubuhku tak kuat
lagi untuk berpikir. Hhmm, setidaknya aku butuh beberapa menit untuk mengerti
dan tersadar. Aku tidak sedang tersesat dan aku tidak sedang menghindar atau
pergi dari siapapun. Aku hapal benar tempat aku sedang terduduk malam ini.
Lalu lalang orang yang datang dan pergi. Bebatuan yang
terhampar dengan besi baja diatasnya. Suara gemuruh memekakkan telinga.
Peringatan dan palang pintu yang otomatis tertutup dan terbuka jika kereta api
akan lewat. Ya, aku berada di Stasiun Kranji. Lalu, bagaimana aku bisa bertanya
pada diri sendiri, “Sedang berada di mana aku ini?”
Hhmm… Bukanlah tempat aku berada saat ini yang aku pikirkan.
Tetapi untuk apa aku lakukan semua ini? Sungguh aku gila dibuatnya. Sore di
hari pertama umatMu berpuasa, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Ada pesan
singkat yang masuk di sana.
“Mbak Dyan, ini Vivi…Mlm ini bisa ga mba nginep di rs
persahabatan.. Mamaku abis di operasi..Msh di ICU.. Temenin aku. Aku
sendirian..”
Aku terdiam. Entahlah saat berdoa usai sholat, aku sempat
teringat tentang dia sahabatku, mama, papa dan adik-adiknya. Aku rindu dan
selalu aku selipkan doa untuk mereka. Aku melipat mukena dengan pikiran kosong.
Ada tanya di hati ini. Kenapa aku tidak mengetahui bahwa mama sahabatku akan di
operasi pagi ini? Jujur aku tidak melupakan atau menghindarinya. Aku hanya
ingin sahabatku dan aku mempunyai hidup masing-masing. Mungkin benar adanya,
dia merasa terganggu jika aku menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari
keluarganya.
Malam di mana Vivi adik sahabatku sms, aku langsung bersiap
menuju Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan banyak hal yang aku pikirkan. Tapi ketahuilah
ada sayang yang begitu besar yang aku miliki untuk dia sahabatku dan
keluarganya. Karena biar bagaimanapun, mereka telah memberi tawa dan senyumnya
untukku. Banyak hal yang dapat aku pelajari dari mereka sekeluarga.
Bagaimana caranya bertanggung jawab dari seorang anak lelaki
pertama yang tidak aku temukan dari kakakku. Tentang bagaimana menghadapi
kesabaran, letih dan hanya doa yang bisa menguatkan.
Setibanya di Rumah Sakit aku menunggu Vivi di balkon. Kami
sempat berbincang sesaat, lalu menuju ruang tunggu ICU. Banyak orang di sana
dengan keresahannya masing-masing. Lantunan ayat suci memenuhi tiap sudut
ruangan. Tetesan air mata, desah napas dan sebuah keluhan kecil terhadap Tuhan
dan sesama penunggu pasien.
Sesekali pintu ruang ICU terbuka, hati ini berdebar. Mungkin
bukan hanya aku saja yang merasakan. Aku bukan siapa-siapa atau bagian dari
keluarga. Tapi rasanya hati ini takut. Aku takut melihat air mata jatuh, aku
takut melihat kepiluan hati.
Pukul 23.30 aku, Vivi dan beberapa keluarga dari pasien lain
bersiap-siap untuk tidur. Tetapi jeritan membuat kami terjaga. Salah seorang
pasien ruang ICU meninggal malam itu. Tangis memecah kesunyian lorong ruang
tunggu ICU. Aku tidak bisa menutup kegundahan hati ini. Tanya pun keluar dari
mulut. Mengapa bisa terjadi?
Seseorang bercerita, bahwa yang meninggal adalah seorang
wanita muda. Wanita itu meninggal setelah melahirkan melalui operasi caesar
sebelas hari yang lalu. Luka jahitannya terkena infeksi yang mengakibatkan
perut membuncit dan panas tinggi. Kecurigaan keluarga membawanya ke Rumah
Sakit, sampai akhirnya tergeletak di ruang ICU.
Alloh SWT mempunyai cara tersendiri untuk membuat hambaNya
bahagia. Dan caranya Ia tunjukkan kepada kami hambaNya yang sehat. Bahwa dunia
hanyalah sebuah titipan, bahwa anak merupakan anugrah. Hidup wanita itupun
berakhir dengan meninggalkan anak keduanya dan menyusul anak pertamanya yang
lebih dahulu meninggal saat berusia 1,5 tahun. Bergetar hati ini. Surgalah yang
wanita itu dapat. Insya Alloh, pesanMu telah sampai.
Malam itu aku tidak bisa terpejam. Suara mesin detak jantung
membuatku gelisah. Ruang itu kedap suara. Tapi bunyi detak mesin masih
terdengar jelas sampai ruang tunggu ICU. Bunyi detak itu mengingatkan kita
bahwa Alloh SWT Yang Maha Esa. Jika Alloh menginginkan mesin itu berhenti. Maka
sampai disitulah hidupnya. Tak kuasa aku membayangkan.
Pukul 03.30 aku dan Vivi menuju kantin Rumah Sakit untuk
membeli makan sahur. Pagi itu begitu dingin dan sunyi. Aku melihat di
lorong-lorong Rumah Sakit, satu, dua orang tertidur di sana. Tanpa alas, tanpa
selimut, udara terbuka, nyamuk, bahkan virus dan bakteri tak kasat mata yang
hanya menemaninya. Mereka begitu gigih melawan malam. Aku merasakan ada hangat
di hati mereka. Aku merasakan mereka melakukan itu untuk membuat tenang, bahwa
yang sakit tidaklah sendiri, mereka tetap ditemani, meskipun tidak berada di
sebelahnya. Aku kembali tersentuh. Alloh, pesanMu telah sampai.
Matahari sudah naik ke permukaan. Saat menebus obat dan
mengurus keperluan administrasi aku melihat beberapa pemandangan yang kembali
membuat aku tersentuh dan bergetar. Lagi-lagi di lorong Rumah Sakit banyak yang
lalu lalang tanpa henti. Duduk pasrah di kursi roda dengan tubuh kurus terlihat
hanya terbalut kulit, ada seorang wanita cantik tetapi berjalan hanya dengan
satu kaki, bahkan ada yang terbujur kaku dan diiringi tangis sanak saudara. Aku
tidak bisa bernapas sesaat. Sesak menyelimuti dada. PesanMu telah sampai,
bahkan aku sudah diberikan kesempurnaan, namun kadang aku lupa untuk bersyukur.
Pukul 11.45, akhirnya aku bisa masuk ruang ICU bersama Vivi.
Ada pemandangan yang hampir membuatku meneteskan air mata. Bisakah aku
menguraikannya? Tidak. Banyak perjuangan hidup di sana. Setiap menit, setiap
detiknya bernapas dengan bantuan alat. Ada yang bernapas dengan mengeluarkan
suara yang membuat bulu kudukku naik. Aku tidak kuat. Selain itu aku tidak kuat
melihat tatapan mama, meskipun dia bukan mama kandungku. Tetapi ketegaran
menjalani hidup telihat jelas diraut wajahnya. Aku ingin berlari. Berteriak
menguacap syukur sekencang-kencangnya. Sungguh, lagi-lagi aku tidak kuasa.
Betapa hebatnya Alloh memberikan keistimewaan untukku. Setiap harinya, hingga
detik ini aku bernapas.
Sungguh pesan itu tersampaikan dengan baik. Alloh SWT memberi
pesan kepada hambaNya melalui cara-cara yang tidak kita ketahui. Melalui
orang-orang terdekat yang terkadang kita tidak pernah tahu, bahwa mereka hadir
dalam hidup kita untuk membawa pesan. Pesan kehidupan. Bahwa hakikatnya manusia
bukanlah makhluk sempurna, dia bisa sakit tanpa diminta, dia bisa jatuh tanpa
kita ketahui dan dia bisa bangkit karena izinNya. Subhanalloh.
Terjawab sudah tanyaku malam itu di Stasiun Kranji.
“Sedang berada di mana aku ini?”
“Aku sedang berada di suatu tempat untuk menjemput
pesanMu. Agar aku dapat selalu bersyukur dan pesanMu telah sampai dengan baik
di hatiku.”
***
*Tulisan
ini diikutsertakan dalam Lomba Kisah Ramadhanku yang diselenggarakan
oleh Ben Santoso dan Nurhudayanti Saleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentarnya....