Penulis
: Dyani T. Wardhyni
Pukul 23.00 dengan
setengah sadar aku terbangun. Sesosok perempuan memasuki ruangan
berukuran 3x3 meter tanpa berpakaian. “Dia
pacarku. Orang yang selalu menemani pesta semalam suntuk dan berakhir di atas
kasur,” ujarku bangga pada sang malam.
Saat itu aku
benar-benar melayang terbang ke awan. Aku mendapat kiriman putaw dari uang
hasil merampok rekeningnya tadi siang. Kami benar-benar pesta dan inilah pesta
sesungguhnya. Aku lupa, sudah berapa kali merayakan pesta dengannya. Sisa yang
teringat berawal sejak kakakku mati lebih dulu karena over dosis.
Tanpa kusadari tubuh
yang dulu sedikit berisi kini tinggal tulang belulang, mataku celong,
rambutku kusam, kulitku kering, aku jelek sekali! Aku seperti monster! Tetapi
pacarku tetap setia, menikmati putaw bersama tubuh yang seperti kain lusuh ini.
Kamar yang penuh muntah kami berdua kian hari kian tajam baunya. Malam hari
kami hidup dan pada pagi harinya kami terkapar seperti mati.
Aku bahagia,
menari-nari dalam mimpi. Jarum suntik yang tertanam di lengan tidak terasa
apapun. Asap-asap yang melayang memenuhi kamar kost mengiringi pada mimpi,
khayalan dan kami pun tertidur.
Gila karena barang
itu. Aku bergaul dengan orang-orang yang juga gila, aku menyebutnya seperti
itu. Setiap hari hanya mabuk-mabukan. Tidak pernah lelah bertahan, mencoba
untuk hidup keesokan harinya. Menjual barang-barang yang aku miliki hanya untuk
memperoleh beberapa gram putaw, shabu dan ganja.
Kosong sudah kamar
ini, aku tidak peduli. Kucuran dana ke rekening habis untuk pesta-pesta tiap
malam. Kuliahku berantakan dan aku pastikan masa depan pun akan hancur.
“Sudah
aku katakan, aku tidak peduli!” nikmatnya putaw tidak bisa
menggantikan apapun.
Aku meringkuk di
pojok kamar yang sumpek. Aku benci matahari pagi. Sinar yang masuk melalui
jendela kamar menusuk-nusuk dan mencabik-cabik tubuhku. Perut yang semalaman
belum terisi sekarang terasa mual. Aku ingin muntah! Mengeluarkan seluruh isi
perutku. Dengan langkah gontai dan mata menyipit aku berjalan menuju kasur
tanpa seprai yang tergeletak di lantai.
Pagi itu aku ingin
mati. “Aku sudah tidak kuat lagi!”
“Jangan!
Aku jangan mati dulu sebelum tersadar.” Sisi lainku mengatakan.
Jarum suntik di atas
meja memanggilku untuk melakukannya lagi. Aku lelah. Tapi tidak berdaya. Hanya
barang dan perempuan itu yang mengerti. Aku meninggalkan perempuan cantik
tertidur dalam kamar. Membawa beberapa uang seratus ribuan. Aku akan menjemput
barang yang sudah kami nantikan berdua. Semakin lama aku semakin gila. Baru
saja bernapas dan berhenti berpesta, tapi kami akan berpesta lagi, lagi dan
lagi.
“Tunggu
aku sesaat, Sayang,” angin menyampaikan rasaku pada
perempuan yang sudah aku pacari dua tahun belakangan ini. Yakin dia akan menantiku.
Akulah penyambung hidupnya malam ini hingga esok menjelang.
Langkah ini aku
percepat, tidak sabar ingin berpesta. Sempat aku janjikan akan memberi malam
yang indah pengantar tidur untuknya.
Dua jam aku pergi.
Saat membuka pintu kamar, yang kudapati dia terbujur kaku. Aku terkejut.
Rasanya dingin tubuh ini.
“Tuhan,
salahku bila dia mati? Dia mati karena aku! Aku yang mengajaknya pada duniaku!”
Aku
menunduk bertanya pada cermin yang tergantung.
“Tidak!
Dia yang tidak seberuntung aku. Dia bodoh tidak bisa menunggu aku lebih lama.
Seharusnya dia bisa bersabar sampai aku datang membawa satu paket putaw yang
dia inginkan.” Aku menjawab dengan lantang. Mengikis
rasa pilu di hati.
Malam kematiannya aku
tertawa menahan tangis. “Apa yang sedang
terjadi?” tanyaku sambil menatap seisi kamar yang seakan menyudutkanku.
“Sudahlah,
toh aku tidak bertanggung jawab pada siapapun. Bahkan kedua orangtuaku tidak
peduli dan yang terpenting orang tuanya tidak pernah tahu anaknya mati oleh
siapa.” Seringaiku licik pada sisi hati yang merindu.
Aku bergegas mengatur
rencana membawanya pulang ke kostan. Seakan dia over dosis seorang diri. Aku
mencampakan perempuan itu seperti bangkai tikus di pembuangan sampah. Aku tidak
ingin terlibat.
“Huh…”
Desahku. “Pasti sangat tidak menyenangkan
merasakan sakau saat aku tinggalkan pergi. Syukurlah bukan aku yang mati!
Dengan begitu barang yang baru saja aku beli bisa aku gunakan sendiri tanpa
berbagi.” Tegasku bagai setan yang serakah.
Mayatnya sudah dibawa
pergi. Aku terselamatkan dan lanjut berpesta dengan beberapa orang gila
lainnya. Aku menyebutnya seperti itu. Semakin tak kuasa menahan gejolak. Ingin
terus dan terus. Bayangan pun memudar, tak bisa melihat, hilang kendali dan
jatuh tersungkur.
***
Aku terbangun, selang
infuse melilit di lengan kiriku, aku lemas sekali, tulang-tulangku sakit. Aku
butuh udara, sesak di dada.
“Sekarang
pacarku yang mati. Kenapa bukan aku saja yang mati?”
aku meronta-ronta di atas tempat tidur Rumah Sakit.
“Aku
pun sudah lelah. Aku tidak pantas untuk hidup.”
Menangis aku dalam kesendirian.
“Aku
malu pada Kakak, orang tuaku dan pastinya Tuhanku. Percuma bila aku terus
hidup! Tidak ada teman untuk berbagi, mereka semua mati! Aku takut merasakan
sakau, yang katanya sakit luar biasa.
Aku takut!” Ceritaku lirih pada bayangan kematian.
Tengah malam aku
menjerit-jerit bagai orang gila. Semua badanku sakit. Tulang-tulangku remuk.
Mataku terus berair. Hidungku perih. Kepalaku terasa berat hampir pecah. Aku
muntah. Aku mulai susah menarik nafas, dadaku terlalu sakit. Aku meronta-ronta,
melempar barang apapun di dekatku. Aku tidak segan lagi untuk melukai diri
sendiri. Menyilet pergelangan tangan dan menghisap darah sendiri.
Jijik. “Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak
dapat berpikir dengan jernih. Yang aku lakukan hanya berusaha agar tidak
merasakan sakit dan sedikit untuk bertahan hidup.”
Aku sudah merasakan
sakau. Ternyata hampir saja merenggut paksa nyawaku, benar-benar terasa mau
mati. Sakitnya sakau tidak sebanding dengan sakit hati ini. Kesepian tanpa
siapapun, bahkan kedua orang tuaku. Mereka tidak pernah menganggap aku lagi.
Aku tak berteman, kecuali mereka yang sama seperti aku, mereka yang mengabdikan
diri untuk merawat kami hanya itu teman-temanku.
“Ah,
sudah cukup, aku perlu konsentrasi untuk diriku sendiri, tanpa mereka aku bisa
bertahan. Menyusun kembali impian-impianku yang dulu hancur.”
Entahlah ini sudah air mata yang keberapa kali menetes.
Kini aku satukan
impian itu dengan hati-hati. Aku lelah berdiam diri, meratapi yang telah
terjadi. “Aku ingin berubah, dan aku
harus berubah!” Tekad membawaku pada kenyataan hidup.
***
Kini aku habiskan
pagi, siang dan malam di tempat rehabilitasi. Menceritakan tiap kisahku kepada
orang banyak melalui tulisan. Kutitipkan setiap lembar kepada petugas yang
menjaga di panti rehabilitasi.
Dia tertarik dengan
semua tulisanku. Aku tidak meminta dia mengirimkan karya-karyaku ke majalah.
Namun dia lakukan itu untukku.
“Aku
si ex-user yang penuh khayalan, penuh cerita, penuh impian dan harapan.”
Aku
mengajak setiap orang di luar sana untuk menghargai hidup, yang memiliki
kenyataan terlalu indah untuk disia-siakan. Aku tidak berani keluar dari tempat
ini. Aku takut dan teramat malu untuk bermasyarakat. Hukuman masyarakat adalah
hukuman paling berat untukku. Dan mereka pasti akan menganggapku sampah. Karena
itu hanya menulis yang bisa aku lakukan, mencoba menghilangkan rasa ketakutan.
Terus dan terus
berlangsung selama empat tahun. Godaan yang besar masih membayangi. Apalagi
saat bertemu dengan sahabat lamaku yang belum berubah. Sesekali aku berkunjung
dan mengajaknya untuk ‘sembuh’. Tapi yang sering aku dapat hanya hinaan dan
caci maki. Aku dianggap tidak setia kawan, aku dianggap pengkhianat dan mereka
semua memusuhiku.
Aku terdiam berpikir
sejenak. Aku mulai melakukan pendekatan dengan cara halus dan berakhir nol
sampai dengan cara kasar. Aku menjebak mereka. Hasil yang aku dapatkan tidak
berlangsung lama, mereka kabur dari panti rehabilitasi yang dulu menyembuhkanku
dan sudah pasti mereka memusuhiku.
Aku putus asa, tapi
aku tidak menyerah sampai disini. Cara lain yang mulai aku lakukan dengan
memberi buku berisi cerita-cerita tentang aku dan teman-teman yang dulu sama
seperti mereka dan akhirnya sembuh. Jelas mereka menolak mana pernah junkie
gemar membaca.
"Aku
yang bodoh, mana pernah dulu aku juga senang membaca."
Aku berpikir keras dan kini aku menunggu saja keinginan mereka untuk sembuh.
“Tapi
tidak mungkin.” Kataku marah pada diri ini.
Sedikit sekali dari
mereka yang ingin sembuh. Lalu aku mencoba membuat film documenter
dan memutarkan kepada mereka. Memberitahukan dampak negatif yang muncul.
Akhirnya mereka
menciut. Mereka takut mati dan sama seperti aku, mereka takut merasakan sakau.
Bola yang kulempar mendapat sambutan. Keinginan mereka untuk berubah mulai
terlihat perlahan-lahan. Pendekatan melalui agama, sosial, aku dan teman-teman
lakukan. Mereka mulai tahu, bahwa selama ini mereka salah.
***
Hampir satu tahun
belakangan ini teman-temanku mulai ikut berubah. Aku belum bisa tersenyum puas.
Karena aku tahu, bukan hanya mereka saja, masih banyak yang membutuhkan
pertolongan aku dan teman-teman. Seharusnya orang-orang yang ‘salah’ seperti
mereka tidak dijebloskan dalam penjara. Karena bukannya menjadi sembuh justru
akan bertambah parah. Seperti yang aku tahu dan kita semua tahu, bukan rahasia
lagi seperti apa di dalam penjara itu.
“Kecewa
aku benar-benar kecewa dengan apa yang terjadi.” Aku
marah dengan apa yang terjadi.
Menarik nafas
panjang. Bukan lagi pertanda lelah seperti dulu, justru aku merasa kurang dan
kurang melakukan yang terbaik. Tapi mungkin Tuhan akan beri kesempatan lebih
lama lagi.
Aku berdiri di terik
panas matahari. Matahari yang pernah aku benci dulu. Bersama teman-teman yang
dalam tahap penyembuhan. Aku kembali membuat film documenter. Aku tidak
hanya diam menjadi penulis, sekarang aku mencoba menjadi sutradara meskipun
hanya film documenter yang ditayangkan saat seminar tentang
narkoba dan bahaya-bahayanya.
“Aku
berharap ini dapat berguna bagi mereka.”
***
Dia terkapar lemas
diatas tempat tidur. Lemas sekali. Badannya benar-benar kurus, daya tahan
tubuhnya menurun. Dia bukan junkie lagi. Dia hanya sakit dan mungkin
kali ini dia akan benar-benar mati. Sahabat yang selalu bersamaku, kini tekena AIDS. Entah dari siapa, dia
sendiri pun lupa.
Aku menyesal karena
aku tersadar lebih lama dari yang aku inginkan. Seandainya aku bisa sembuh
lebih cepat, mungkin saja aku bisa lebih cepat juga membantu orang lain untuk
sembuh.
Aku tidak ingin
terlalu banyak bicara dan sekarang saatnya bekerja. Biar mereka teman-teman
yang baru menggantikanku.
“Dia
semakin terkapar dan tidak berdaya.” Ceritaku pada Tuhan. Mungkin akan tiba
waktunya dia mati.
Aku menangis. Baru
kali ini aku menangis saat kehilangan. Aku benar-benar menyesal telah gagal
meyelamatkan satu nyawa lagi. Tapi aku berdoa dan memohon semoga benar saja
Tuhan memberikan aku kesempatan.
Aku terduduk di
bangku, melihat sekelilingku. Saatnya nanti akupun akan mati. Tapi yang jelas
setelah aku membantu mereka, orang yang masih membutuhkanku, orang yang masih
mempunyai banyak mimpi tapi tidak tahu harus kemana, orang yang membutuhkan
teman dan aku ada untuk mereka. Menghilangkan semua rasa ketakutan selama ini.
Mengembalikan hari-hari indah yang telah hilang. Aku ada untuk mereka.
Hembusan angin sore
menemaniku mengantar jenasah itu. Tidak boleh lagi ada air mata dan tidak boleh
lagi ada penyesalan. Akan aku bangun pemuda dari segala keterpurukan dan
ancaman kemanusiaan. Melalui tangan yang kau anggap hina ini namun memiliki asa
yang besar. Jangan remehkan kami, jangan kucilkan dan tinggalkan kami. Rangkul
kami dalam sayang. Bangsa yang besar.
****
*Diikutsertakan
dalam Lomba
Menulis Cerpen Kementrian Pemuda dan Olahraga RI (Cipta Cerpen Pemuda 2011).
Apa musti steril dari cerita tentang perilaku seksual? Kan telanjang.....
BalasHapus