Selamat Datang di "Coba Bercerita, Yuk!" Ada banyak makna di balik cerita, maka berceritalah melalui tulisan!

Rabu, 05 Oktober 2011

Cerpen : Tentang Aku, Dia dan Mereka (Vers.2)

Penulis : Dyani T. Wardhyni

Pukul 23.00 dengan setengah sadar aku terbangun. Sesosok perempuan memasuki ruangan  berukuran 3x3 meter tanpa berpakaian. “Dia pacarku. Orang yang selalu menemani pesta semalam suntuk dan berakhir di atas kasur,” ujarku bangga pada sang malam.
Saat itu aku benar-benar melayang terbang ke awan. Aku mendapat kiriman putaw dari uang hasil merampok rekeningnya tadi siang. Kami benar-benar pesta dan inilah pesta sesungguhnya. Aku lupa, sudah berapa kali merayakan pesta dengannya. Sisa yang teringat berawal sejak kakakku mati lebih dulu karena over dosis.
Tanpa kusadari tubuh yang dulu sedikit berisi kini tinggal tulang belulang, mataku celong, rambutku kusam, kulitku kering, aku jelek sekali! Aku seperti monster! Tetapi pacarku tetap setia, menikmati putaw bersama tubuh yang seperti kain lusuh ini. Kamar yang penuh muntah kami berdua kian hari kian tajam baunya. Malam hari kami hidup dan pada pagi harinya kami terkapar seperti mati.
Aku bahagia, menari-nari dalam mimpi. Jarum suntik yang tertanam di lengan tidak terasa apapun. Asap-asap yang melayang memenuhi kamar kost mengiringi pada mimpi, khayalan dan kami pun tertidur.
Gila karena barang itu. Aku bergaul dengan orang-orang yang juga gila, aku menyebutnya seperti itu. Setiap hari hanya mabuk-mabukan. Tidak pernah lelah bertahan, mencoba untuk hidup keesokan harinya. Menjual barang-barang yang aku miliki hanya untuk memperoleh beberapa gram putaw, shabu dan ganja.
Kosong sudah kamar ini, aku tidak peduli. Kucuran dana ke rekening habis untuk pesta-pesta tiap malam. Kuliahku berantakan dan aku pastikan masa depan pun akan hancur.
“Sudah aku katakan, aku tidak peduli!” nikmatnya putaw tidak bisa menggantikan apapun.
Aku meringkuk di pojok kamar yang sumpek. Aku benci matahari pagi. Sinar yang masuk melalui jendela kamar menusuk-nusuk dan mencabik-cabik tubuhku. Perut yang semalaman belum terisi sekarang terasa mual. Aku ingin muntah! Mengeluarkan seluruh isi perutku. Dengan langkah gontai dan mata menyipit aku berjalan menuju kasur tanpa seprai yang tergeletak di lantai.
Pagi itu aku ingin mati. “Aku sudah tidak kuat lagi!”
“Jangan! Aku jangan mati dulu sebelum tersadar.” Sisi lainku mengatakan.
Jarum suntik di atas meja memanggilku untuk melakukannya lagi. Aku lelah. Tapi tidak berdaya. Hanya barang dan perempuan itu yang mengerti. Aku meninggalkan perempuan cantik tertidur dalam kamar. Membawa beberapa uang seratus ribuan. Aku akan menjemput barang yang sudah kami nantikan berdua. Semakin lama aku semakin gila. Baru saja bernapas dan berhenti berpesta, tapi kami akan berpesta lagi, lagi dan lagi.
“Tunggu aku sesaat, Sayang,” angin menyampaikan rasaku pada perempuan yang sudah aku pacari dua tahun belakangan ini. Yakin dia akan menantiku. Akulah penyambung hidupnya malam ini hingga esok menjelang.
Langkah ini aku percepat, tidak sabar ingin berpesta. Sempat aku janjikan akan memberi malam yang indah pengantar tidur untuknya.
Dua jam aku pergi. Saat membuka pintu kamar, yang kudapati dia terbujur kaku. Aku terkejut. Rasanya dingin tubuh ini.
“Tuhan, salahku bila dia mati? Dia mati karena aku! Aku yang mengajaknya pada duniaku!” Aku menunduk bertanya pada cermin yang tergantung.
“Tidak! Dia yang tidak seberuntung aku. Dia bodoh tidak bisa menunggu aku lebih lama. Seharusnya dia bisa bersabar sampai aku datang membawa satu paket putaw yang dia inginkan.” Aku menjawab dengan lantang. Mengikis rasa pilu di hati.
Malam kematiannya aku tertawa menahan tangis. “Apa yang sedang terjadi?” tanyaku sambil menatap seisi kamar yang seakan menyudutkanku.
 “Sudahlah, toh aku tidak bertanggung jawab pada siapapun. Bahkan kedua orangtuaku tidak peduli dan yang terpenting orang tuanya tidak pernah tahu anaknya mati oleh siapa.” Seringaiku licik pada sisi hati yang merindu.
Aku bergegas mengatur rencana membawanya pulang ke kostan. Seakan dia over dosis seorang diri. Aku mencampakan perempuan itu seperti bangkai tikus di pembuangan sampah. Aku tidak ingin terlibat.
“Huh…” Desahku. “Pasti sangat tidak menyenangkan merasakan sakau saat aku tinggalkan pergi. Syukurlah bukan aku yang mati! Dengan begitu barang yang baru saja aku beli bisa aku gunakan sendiri tanpa berbagi.” Tegasku bagai setan yang serakah.
Mayatnya sudah dibawa pergi. Aku terselamatkan dan lanjut berpesta dengan beberapa orang gila lainnya. Aku menyebutnya seperti itu. Semakin tak kuasa menahan gejolak. Ingin terus dan terus. Bayangan pun memudar, tak bisa melihat, hilang kendali dan jatuh tersungkur.
***
Aku terbangun, selang infuse melilit di lengan kiriku, aku lemas sekali, tulang-tulangku sakit. Aku butuh udara, sesak di dada.
“Sekarang pacarku yang mati. Kenapa bukan aku saja yang mati?” aku meronta-ronta di atas tempat tidur Rumah Sakit.
“Aku pun sudah lelah. Aku tidak pantas untuk hidup.” Menangis aku dalam kesendirian.
“Aku malu pada Kakak, orang tuaku dan pastinya Tuhanku. Percuma bila aku terus hidup! Tidak ada teman untuk berbagi, mereka semua mati! Aku takut merasakan sakau, yang katanya sakit luar biasa. Aku takut!” Ceritaku lirih pada bayangan kematian.
Tengah malam aku menjerit-jerit bagai orang gila. Semua badanku sakit. Tulang-tulangku remuk. Mataku terus berair. Hidungku perih. Kepalaku terasa berat hampir pecah. Aku muntah. Aku mulai susah menarik nafas, dadaku terlalu sakit. Aku meronta-ronta, melempar barang apapun di dekatku. Aku tidak segan lagi untuk melukai diri sendiri. Menyilet pergelangan tangan dan menghisap darah sendiri.
Jijik. “Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak dapat berpikir dengan jernih. Yang aku lakukan hanya berusaha agar tidak merasakan sakit dan sedikit untuk bertahan hidup.”
Aku sudah merasakan sakau. Ternyata hampir saja merenggut paksa nyawaku, benar-benar terasa mau mati. Sakitnya sakau tidak sebanding dengan sakit hati ini. Kesepian tanpa siapapun, bahkan kedua orang tuaku. Mereka tidak pernah menganggap aku lagi. Aku tak berteman, kecuali mereka yang sama seperti aku, mereka yang mengabdikan diri untuk merawat kami hanya itu teman-temanku.
“Ah, sudah cukup, aku perlu konsentrasi untuk diriku sendiri, tanpa mereka aku bisa bertahan. Menyusun kembali impian-impianku yang dulu hancur.” Entahlah ini sudah air mata yang keberapa kali menetes.
Kini aku satukan impian itu dengan hati-hati. Aku lelah berdiam diri, meratapi yang telah terjadi. “Aku ingin berubah, dan aku harus berubah!” Tekad membawaku pada kenyataan hidup.
***
Kini aku habiskan pagi, siang dan malam di tempat rehabilitasi. Menceritakan tiap kisahku kepada orang banyak melalui tulisan. Kutitipkan setiap lembar kepada petugas yang menjaga di panti rehabilitasi.
Dia tertarik dengan semua tulisanku. Aku tidak meminta dia mengirimkan karya-karyaku ke majalah. Namun dia lakukan itu untukku.
“Aku si ex-user yang penuh khayalan, penuh cerita, penuh impian dan harapan.”
 Aku mengajak setiap orang di luar sana untuk menghargai hidup, yang memiliki kenyataan terlalu indah untuk disia-siakan. Aku tidak berani keluar dari tempat ini. Aku takut dan teramat malu untuk bermasyarakat. Hukuman masyarakat adalah hukuman paling berat untukku. Dan mereka pasti akan menganggapku sampah. Karena itu hanya menulis yang bisa aku lakukan, mencoba menghilangkan rasa ketakutan.
Terus dan terus berlangsung selama empat tahun. Godaan yang besar masih membayangi. Apalagi saat bertemu dengan sahabat lamaku yang belum berubah. Sesekali aku berkunjung dan mengajaknya untuk ‘sembuh’. Tapi yang sering aku dapat hanya hinaan dan caci maki. Aku dianggap tidak setia kawan, aku dianggap pengkhianat dan mereka semua memusuhiku.
Aku terdiam berpikir sejenak. Aku mulai melakukan pendekatan dengan cara halus dan berakhir nol sampai dengan cara kasar. Aku menjebak mereka. Hasil yang aku dapatkan tidak berlangsung lama, mereka kabur dari panti rehabilitasi yang dulu menyembuhkanku dan sudah pasti mereka memusuhiku.
Aku putus asa, tapi aku tidak menyerah sampai disini. Cara lain yang mulai aku lakukan dengan memberi buku berisi cerita-cerita tentang aku dan teman-teman yang dulu sama seperti mereka dan akhirnya sembuh. Jelas mereka menolak mana pernah junkie gemar membaca.
"Aku yang bodoh, mana pernah dulu aku juga senang membaca." Aku berpikir keras dan kini aku menunggu saja keinginan mereka untuk sembuh.
“Tapi tidak mungkin.” Kataku marah pada diri ini.
Sedikit sekali dari mereka yang ingin sembuh. Lalu aku mencoba membuat film documenter dan memutarkan kepada mereka. Memberitahukan dampak negatif yang muncul.
Akhirnya mereka menciut. Mereka takut mati dan sama seperti aku, mereka takut merasakan sakau. Bola yang kulempar mendapat sambutan. Keinginan mereka untuk berubah mulai terlihat perlahan-lahan. Pendekatan melalui agama, sosial, aku dan teman-teman lakukan. Mereka mulai tahu, bahwa selama ini mereka salah.
***
Hampir satu tahun belakangan ini teman-temanku mulai ikut berubah. Aku belum bisa tersenyum puas. Karena aku tahu, bukan hanya mereka saja, masih banyak yang membutuhkan pertolongan aku dan teman-teman. Seharusnya orang-orang yang ‘salah’ seperti mereka tidak dijebloskan dalam penjara. Karena bukannya menjadi sembuh justru akan bertambah parah. Seperti yang aku tahu dan kita semua tahu, bukan rahasia lagi seperti apa di dalam penjara itu.
“Kecewa aku benar-benar kecewa dengan apa yang terjadi.”  Aku marah dengan apa yang terjadi.
Menarik nafas panjang. Bukan lagi pertanda lelah seperti dulu, justru aku merasa kurang dan kurang melakukan yang terbaik. Tapi mungkin Tuhan akan beri kesempatan lebih lama lagi.
Aku berdiri di terik panas matahari. Matahari yang pernah aku benci dulu. Bersama teman-teman yang dalam tahap penyembuhan. Aku kembali membuat film documenter. Aku tidak hanya diam menjadi penulis, sekarang aku mencoba menjadi sutradara meskipun hanya film documenter yang ditayangkan saat seminar tentang narkoba dan bahaya-bahayanya.
“Aku berharap ini dapat berguna bagi mereka.”
***
Dia terkapar lemas diatas tempat tidur. Lemas sekali. Badannya benar-benar kurus, daya tahan tubuhnya menurun. Dia bukan junkie lagi. Dia hanya sakit dan mungkin kali ini dia akan benar-benar mati. Sahabat yang selalu bersamaku, kini tekena AIDS. Entah dari siapa, dia sendiri pun lupa.
Aku menyesal karena aku tersadar lebih lama dari yang aku inginkan. Seandainya aku bisa sembuh lebih cepat, mungkin saja aku bisa lebih cepat juga membantu orang lain untuk sembuh.
Aku tidak ingin terlalu banyak bicara dan sekarang saatnya bekerja. Biar mereka teman-teman yang baru menggantikanku.
“Dia semakin terkapar dan tidak berdaya.” Ceritaku pada Tuhan. Mungkin akan tiba waktunya dia mati.
Aku menangis. Baru kali ini aku menangis saat kehilangan. Aku benar-benar menyesal telah gagal meyelamatkan satu nyawa lagi. Tapi aku berdoa dan memohon semoga benar saja Tuhan memberikan aku kesempatan.
Aku terduduk di bangku, melihat sekelilingku. Saatnya nanti akupun akan mati. Tapi yang jelas setelah aku membantu mereka, orang yang masih membutuhkanku, orang yang masih mempunyai banyak mimpi tapi tidak tahu harus kemana, orang yang membutuhkan teman dan aku ada untuk mereka. Menghilangkan semua rasa ketakutan selama ini. Mengembalikan hari-hari indah yang telah hilang. Aku ada untuk mereka.
Hembusan angin sore menemaniku mengantar jenasah itu. Tidak boleh lagi ada air mata dan tidak boleh lagi ada penyesalan. Akan aku bangun pemuda dari segala keterpurukan dan ancaman kemanusiaan. Melalui tangan yang kau anggap hina ini namun memiliki asa yang besar. Jangan remehkan kami, jangan kucilkan dan tinggalkan kami. Rangkul kami dalam sayang. Bangsa yang besar.
****

1 komentar:

Silahkan tinggalkan komentarnya....