Selamat Datang di "Coba Bercerita, Yuk!" Ada banyak makna di balik cerita, maka berceritalah melalui tulisan!

Minggu, 16 Oktober 2011

Cerpen : Bagian yang Hilang

Oleh : Dyani T. Wardhyni
Sore hari yang terlihat mendung. Aku terduduk di teras rumah menggoreskan tiap lembar dengan kata-kata menarik. Bukan menulis puisi atau sejenisnya, tapi aku menulis lirik lagu. Sejak kecil aku memang tertarik dengan musik, bahkan sejak SMP aku mencoba membuat band kacangan, saat itu kecintaan aku terhadap musik lebih besar dari apapun. Tapi ayah selalu menghalalkan segala cara supaya aku jauh dari musik, apalagi semenjak kepergiaan Bunda untuk selama-lamanya. Ayah semakin keras melawan keinginanku. Mereka bilang musik bisa merusak orang, tapi aku tidak percaya itu. Justru dengan musik aku bisa hidup. Aku bisa bertahan, paling tidak setiap nadanya bisa menghibur hati yang sepi tanpa kehadiran Bunda.
“Abdi, belum berangkat kamu?”
Huh…Lagi-lagi ayah yang selalu menganggu.
“Ya…” aku menjawab datar dan bergegas pergi les.
Pergi les? Bukan les gitar atau drum yang sedang aku jalani, tapi les yang membuat aku pusing dan malas untuk pergi. Setiap harinya berlalu begitu saja, tanpa kesan yang berarti. Aku seperti pecundang, berbohong terus. Aku selalu mencari alasan supaya bisa kabur dan latihan band. Hal ini berlangsung secara berulang-ulang. Lelah aku benar-benar lelah dengan kemunafikan ini.
***
Malam itu aku di rumah Noval. Berlindung, mencari ketenangan jiwa yang mulai bosan dengan seluruh aturan yang ada. Mencari kebebasan yang aku inginkan!
“Abdi,” panggil Cindy pelan.
“Iya,” aku menjawab malas, sambil terus membuka lembar demi lembar buku musik milik Noval.
“Ada Festival Musik di Bandung, antar SMU, tema musiknya bebas,” Cindi mendekatiku dan mengelap keringat yang mengucur di dahi.
Aku tidak memberi jawaban, karena perlu seribu alasan untuk mengikuti Festival Musik. Alasan apa lagi yang harus aku kasih ke Ayah.
“Mau nggak, Di?” Cindy bersandar di bahuku. Dia begitu sayang dan perhatian. Tapi entah mengapa aku menganggap itu biasa.
“Aku yang bayarin deh, tapi kamu ikut ya?” Cindy menggenggam erat tangan aku. Aku masih terdiam, karena aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Abdi, mau ya?” Cindy mengulanginya lagi.
“Udahlah Cin, kamu pulang aja! Aku lagi konsen nih!” Aku berusaha bangun dan menuju jendela kamar Noval.
“Kamu nggak suka ya aku datang?” Cindy bertanya dengan nada memelas, menatap aku yang masih berdiri di depan jendela.
“Nggak, tapi aku lagi ada masalah!” Aku nggak menoleh sedikitpun, karena aku nggak mau melihat Cindy yang masih terduduk diam dengan muka manjanya.
“Kamu nggak mau cerita ke aku? Aku siap dengar cerita kamu. Apa aja!” Cindy terus mendesak aku. Dan aku semakin kehabisan akal.
“Kamu pulang aja deh, nanti keburu malam. Sorry aku nggak bisa antar.” Aku mencium kening Cindy yang masih heran melihat tingkah laku aku.
“Abdi, kita pacaran udah empat tahun! Dari mulai kita kelas dua SMP, dari mulai kamu lebih mementingkan musik daripada aku! Apa aku pernah mengeluh selama ini? Nggak pernah, Di. Aku mengerti kamu!” Cindy menggandeng tangan aku dan melepaskannya dengan lembut.
Seandainya dia tahu, betapa berat membuatnya diterima oleh teman-temanku. Itulah yang sedang aku hadapi sekarang! Aku hanya terdiam menatap matanya dalam-dalam dan membiarkannya pulang seorang diri.
Cindy yang aku kenal selalu memberi dukungan tentang musik dan menjadi sasaran marahnya ayah kalau aku telat pulang sekolah karena latihan band. Cindy juga selalu memberi seribu alasan ke ayah supaya percaya bahwa aku tidak akan mungkin berbuat apapun yang merugikan orang banyak dan diri sendiri.
Itulah bentuk cinta yang Cindy tunjukkan ke aku. Aku pun demikian. Begitu besar cinta yang aku miliki ke dia. Bahkan cinta aku yang dulu ke musik kini sudah terbagi dua. Mungkin karena itulah anak-anak mulai menghalangi hubungan aku dan Cindy. Padahal Cindy sudah melakukan apa saja. Tapi Muss, Hendy dan Lukman masih tidak mau menerima Cindy, terkecuali Noval.
“Cindy udah pulang, Di?” tanya Noval.
“Iya,” aku masih asik memetik satu demi satu senar gitar. “Emangnya kenapa?” tanya aku pura-pura heran.
“Untung aja dia cepet balik,” Noval duduk disamping aku. “Kamu kayak nggak tahu anak-anak aja, apalagi Muss, bisa-bisa dia ngusir Cindy dari sini,” Noval beranjak dan menutup jendela kamarnya yang tenang.
“Aku nggak habis pikir, kenapa sih anak-anak nggak suka sama Cindy? Emangnya salah dia apa?” aku tidak terima kalau keberadaan Cindy menjadi penghalang.
“Anak-anak cuma ngerasa semenjak ada Cindy, latihan kamu jadi loyo, kebanyakan romantis-romantisan. Anak-anak jadi kesel lihatnya,” Noval coba memberi penjelasan.
“Masa sih? Aku lebih dulu kenal Cindy dari pada bentuk band ini! Jadi aku nggak ngerasa, lagi pula latihan aku tetap jalan kok, cuma…..” omonganku terhenti.
“Woi…Udah lama?” sapa Muss dari depan pintu dan langsung merauk keripik kentang di atas meja belajar Noval. “Cindy nggak kemari, Di?” tanya Muss dengan nada sinis.
“Nggak, lagi nganterin nyokapnya belanja,” aku memberi kode ke Noval supaya dia bisa jaga rahasia.
“Baguslah, kita kan jadi tenang latihannya,” Muss menaikkan alisnya, lalu rebahan di atas tempat tidur.
“Ada Festival Musik di Bandung, pada mau ikut nggak?” tanya aku sambil memukul pelan kaki Muss yang ditutupi celana jeans.
“Informasi dari mana?” diangkatnya kaki Muss ke atas tembok.
“Pasti dari Cindy,” tebak Hendy dengan mimik muka sok tahu.
“Ah, Cindy lagi, Cindy lagi…..” Lukman tertawa kecil melihat Muss dan Hendy.
“Dia cuma nawarin kok, kalau nggak mau ya nggak apa-apa,” aku mulai emosi melihat culasnya anak-anak bertiga itu.
“Cindy niat baik, kalian semua aja salah terima! Lagian apa salahnya kalau dia mau ngajak kita maju?” lagi-lagi Noval berusaha membela aku.
“Nggak usah sok, deh! Jangan-jangan kamu juga udah jatuh cinta! Makanya jadi melankolis!” sambung Muss dengan omongannya yang terkadang membuat orang lain sakit hati.
“Apa-apaan sih? Kok jadi berantem! Katanya mau jalan!” aku mulai berdiri diikuti Noval di belakang aku.
“Minggu ini mau kemana?” Muss mengambil sisa keripiknya dan mendorong Hendy ke pinggiran tempat tidur.
“Gampang, ini khan malam minggu, banyak tempat buat orang yang dompetnya tebel!” sindir Hendy sambil melirik ke arah Noval.
“Iya beres aku yang traktir!” Noval tersenyum pahit dan merasa malam minggu ini dia yang kebagian jatah traktir anak-anak.
Persahabatan kami memang tidak pernah tergantikan. Meski kami sering berbeda pendapat dalam hal musik, sekolah bahkan wanita. Khususnya Noval, kami berdua memang tergolong lebih dekat daripada yang lainnya. Karena aku sudah mengenalnya lebih dulu sejak bangku SMP. Dan Noval pulalah yang mengetahui bahwa sebenarnya anak-anak tidak pernah setuju kalau salah satu dari kami ada yang punya pacar. Menurut mereka semua itu bisa mengganggu konsentrasi. Tapi Noval yakin, kalau suatu hari nanti cara pandang anak-anak bisa berubah dan mereka juga akan mengerti bahwa aku bisa membagi antara urusan cinta dan musik.
***
“Abdi,” Cindy duduk di kantin tepat di sampingku.
“Di, aku ke kelas, ya!” Muss mengambil sisa minumannya, dengan terburu-buru menjauh dari aku dan Cindy.
“Sorry Cin.” Entah kesekian kalinya aku harus membuat Cindy mengerti.
“Nggak apa-apa. Gimana Di, jadi ikut gak?” Cindy mencolek bahu aku. “Kesempatan emas, loh. Sayang kalau dilewatin, nanti kamu rugi!”
“Nggak tahu deh anak-anak,” jawab aku lemas. Aku semakin merasa tidak enak sama Cindy, aku tahu benar, Cindy pasti susah payah cari informasi tentang ini. “Memangnya kita harus bayar berapa?” aku mencari alasan, mungkin dengan harga formulir yang mahal bisa menjadi alasan kenapa anak-anak malas ikut.
“Kamu dan yang lainnya nggak perlu bayar, aku udah urus semuanya. Makan, tidur, kendaraan, semuanya. Kamu tenang aja!” Cindy menjelaskan dengan mata berbinar-binar seakan yakin benar bahwa kami semua akan mengikuti rencananya.
“Nanti aku usahain!” aku memberi harapan ke Cindy. Cindy hanya tersenyum dan meninggalkan aku yang masih duduk sendiri di kantin.
Pelajaran yang membosankan aku lalui dua setengah jam. Bingung, harus jurus apa lagi yang aku keluarin buat merayu mereka semua.
“Gimana nih? Semua keputusan ada di kamu?” aku menepuk bahu Muss pelan.
“Aku lagi nggak ada duit,” jawab Muss ketus mencari-cari alasan.
“Kan, Abdi udah bilang kalau semuanya ditanggung Cindy,” Noval berusaha membela aku lagi dan lagi.
“Apa dia sanggup nanggung kita berlima?” Hendy meyakinkan aku. “Kita nggak mau ngerepotin!”
“Sanggup!” aku semakin berharap anak-anak setuju.
“Kendaraannya?” Muss masih terus memojokkan aku.
“Naik mobil dia! Tenang aja!” aku terus berusaha membuat Muss setuju. “Gimana mau, kan?” aku menatap mata mereka yang masih terduduk santai.
“Boleh!” jawab mereka satu persatu.
“Eh nanti dulu! Aku belum jawab!” Uhhh……Muss, lagi-lagi Muss yang selalu keras kepala.
“Apalagi sih Muss?” tanya Noval kesal. “Kita tinggal main musik aja! Terus kalau menang tinggal bawa hadiah, piala dan yang terpenting tanda tangan kontrak!”
“Hhmm…” Muss kebingungan mencari alasan. “Oke. Oia Di, emang kamu udah dikasih izin sama Ayah?” Muss heran, kenapa aku bisa pergi dengan gampangnya.
“Urusan itu udah beres! Cindy bisa kok ngomong ke Ayah, dia kan jago ngasih alasan ke Ayah!” jawab aku bangga.
“Tapi kita kan harus sekolah!” Muss masih tetap pada pendiriannya. “Jam berapa kita harus berangkat?” Muss melirik jam tangannya.
“Pulang sekolah kita baru jalan, lagi pula acaranya khan minggu. Berapa lama sih jarak Jakarta-Bandung, paling juga cuma empat jam!” Noval masih kesal meliat tingkah laku Muss. Terlalu banyak alasan. “Kira-kira jam empat sore! Gimana semuanya udah pada siap, kan?” tanya Noval tanpa memikirkan jawaban dari Muss.
“Aku…” Muss berusaha memotong pembicaraan.
“Udahlah Muss, semua keputusan ada di kamu! Kalau kamu mau ikut aku bersyukur banget! Tapi kalau kamu nggak mau tanpa alasan yang tepat, ya lebih baik kamu keluar dari band kita! Karena kamu nggak ada motivasi untuk maju!” Hendy yang biasanya jadi tangan kanan Muss berubah marah-marah dan bergegas keluar kelas diikuti aku dan yang lainnya.
“Loh, kok gitu, Hen?” percuma saja buat Muss, karena anak-anak sudah tidak mau mendengar alasan apapun.
“Ingat, ya! Kalau mau ikut aku tunggu di Studio jam tujuh! Kita masih ada waktu sepuluh hari buat latihan!” Hendy sempat berbalik dan memberikan pilihan untuk Muss.
***
Sudah pukul 19.15, Muss belum juga datang. Anak-anak sudah pada alatnya masing-masing. Cindy di pojok studio masih asik dengan kameranya. Memotret sana-sini, mencari setiap angel yang terbaik. Setengah jam sudah berlalu, tapi Muss belum menampakkan batang hidungnya. Malam itu tidak ada yang ingin membicarakan Muss, tapi masing-masing dari mereka sudah menyiapkan siapa yang akan menggantikan Muss seandainya benar-benar mengundurkan diri. Sampai pada akhirnya Muss datang dengan tampang mengalahnya, membawa jawaban yang seharusnya dia berikan tadi siang.
“Aku jadi ikut!” Muss masih berdiri di depan pintu. “Tapi aku nggak mau ngeluarin duit sepeser pun!” sambung Muss tanpa melihat ke arah aku dan Cindy.
“Emang dasar kamu aja yang pelit!” teriak Lukman meledek.
“Eh, bukannya gitu!” bantah Muss. “Sorry, malam ini aku nggak bisa latihan dulu, mau nganterin nyokap ke rumah tante,” Muss mulai mengelak latihan karena ada Cindy di sana.
“Ah, mulai deh keras kepala! Oke untuk sekali ini aja!” Hendy menyikut pelan Muss. Muss hanya tertawa dan bergegas keluar studio meninggalkan kami semua.
***
Sembilan hari sudah kami lalui bersama, latihan dan latihan. Dua lagu baru sudah kami siapkan untuk tampil dua hari lagi tepatnya hari Minggu pukul 11.00. Muss, Lukman dan Hendy sekarang sudah bisa menerima keberadaan Cindy. Ternyata kami semua sepaham dalam hal musik. Lukman sering memanggil Cindy dengan sebutan ‘Ibu Manager’ karena dia yang mengatur segala tetek bengek keperluan kami sampai tiba waktunya nanti. Bahkan sampai masalah perizinan orang tua pun sudah kami kantongi. Khususnya aku, entah apa yang sudah dia bicarakan sama ayah sampai aku bisa dapat izin.
Aku Hardian Abdi, yang cinta pada musik dan aku punya cita-cita jadi pemusik, bukan dokter seperti yang diinginkan ayah. Kini tinggal selangkah lagi. Sabtu sore kira-kira pukul 16.00, aku dan yang lainnya berangkat dari rumah Noval. Setibanya di Bandung kami semua langsung istirahat, menempati kamar yang sudah dipesan Cindy.
Setiap detik, menit, jam kami lalui dengan persahabatan yang erat, rasa cinta kasih dan kebersamaan. Tidak sabar aku menanti esok hari. Pembuktian jati diri aku, pembuktian pada orang tua kami dan orang-orang di sekitar kami. Bukan hanya membawa nama band semata, tapi kami juga membawa nama sekolah. Aku lihat mata Cindy yang berbinar-binar. Dia yakin betul bahwa kami akan sukses, sesukses yang pernah dia impikan dan ceritakan kepadaku.
Minggu, pukul 11.00 kami tampil. Memang agak terlambat tiga puluh menit dari yang panita katakan. Semuanya berjalan sesuai rencana. Bahkan lebih baik dari yang kami bayangkan. Terima kasih Tuhan atas anugrahnya. Hanya itu yang bisa aku dan teman-teman ucapkan. Kami jadi juaranya. Berbagai hadiah sudah didapatkan. Dari mulai uang tunai, tabungan, alat-alat musik, sampai yang kami harapkan yaitu satu lembar penandatanganan kontrak, meskipun baru kontrak album kompilasi. Tapi kami cukup bangga. Bahkan sangat bangga. Inilah titik mula dari perjalanan aku dan teman-teman.
***
Satu tahun setelah Festival Musik itu berlalu, kami masih terus konsentrasi mengisi acara pentas seni di sekolah-sekolah atau acara lainnya. Masa SMA sudah terlewati dengan rasa bahagia. Kami selesaikan sekolah dengan nilai yang memuaskan dan prestasi di bidang musik yang membanggakan. Setelah lima tahun lulus sekolah, band kami dengan aliran musik pop bernama “Sound Simple” ini semakin maju bahkan sudah mengeluarkan dua album. Setiap hari kami habiskan untuk promo album. Dan inilah saat yang kami semua nantikan untuk tampil di Festival Musik yang dibuat salah satu produk rokok. Festival di mana enam tahun yang lalu kami juga mengikuti dan kami jadi pemenangnya.
“Ingat, nggak? Dulu kita yang jadi pesertanya! Tapi sekarang kita yang jadi bintang tamunya!” aku meneguk segelas teh hangat di lobby Hotel.
“Iya. Aku nggak pernah nyangka bakalan sesukses ini! Thanks ya, Cin,” Muss merangkul bahu Cindy yang duduk di samping aku.
“Kok aku sih? Emang kenapa?” Cindy melirik dengan dahi berkerut.
“Kan, dulu kamu yang nyaranin kita buat ikut Festival Musik ini.” Hendy tersenyum lebar.
Sampai saat ini Cindy masih jadi ‘manager’ band aku. Dengan begitu aku juga bisa selalu dekat dengannya. Masalah pacar sekarang bukan lagi penghalang buat kita semua. Noval sudah berani mengakui siapa yang selama ini mengisi hari-harinya, Hendy yang lagi pendekatan dengan artis sinetron pendatang baru, Lukman yang mempunyai pacar sesama musisi dan Muss yang banyak digilai model-model cantik. Dan aku? Masih setia selama-lamanya di samping Cindy. Dalam suka dan duka.
***
Pukul 23.00 di hari yang sama, crew dan kami semua merayakan ulang tahun di salah satu café masih di daerah Bandung. Biasanya sepulang manggung kami selalu punya acara masing-masing. Tapi kali ini untuk merayakan ulang tahun band yang ke tujuh, sengaja kami merencanakan untuk pulang bersama dalam satu mobil. Makan-makan, senang-senang, tertawa sepuasnya menikmati apa yang sudah Tuhan berikan kepada kami.
Senyum lebar tidak pernah lepas dari bibir kami semua. Baik masing-masing personil, Cindy dan orang-orang yang membantu kami selama ini. Satu setengah jam jam terlewati, pukul 00.30 kami pulang ke Jakarta. Semua ini sama seperti lima tahun yang lalu. Sepulang mengikuti Festival Musik di Bandung, pada waktu itu Noval yang dipercaya menyupir mobil milik Cindy dan kini terulang kembali, tetapi yang berbeda kali ini mobil milik band kami sendiri. Déjà vu.
Terlalu lelah kami seharian tertawa. Mereka semua tertidur pulas. Tinggal aku dan Noval yang masih terjaga. Isengnya aku melihat wajah mereka yang terlihat capek. Dengan mulut menganga, leher miring ke kanan, badan meringkuk, aku rekam semuanya dalam handycam.
Tertawa puas Noval melihat tingkah aku. Tidak terlewati wajah Cindy yang cantik juga tertidur sambil memeluk bantal. Aku mengelus rambutnya yang hitam dan lebat, mencium keningnya dan membiarkan kepalanya bersandar di bahu aku. Tanpa aku sadari, ternyata dia banyak membantu aku dan yang lainnya. Dengan perhatian, sayang dan juga cinta.
Handycam aku matikan dan meletakkannya di pangkuan. Tidak berapa lama aku pun tertidur meninggalkan Noval yang masih asik menyetir bukan di pekatnya malam, tetapi menjelang subuh di mana orang-orang masih terlelap.
Tiba-tiba sesuatu membangunkan aku dan yang lainnya. Dua buah cahaya besar dan terang menyala menembus ke dalam mobil. Noval membanting stir ke kiri, menghindari supir truk yang mengantuk dan berteriak! Cindy memeluk erat tubuhku. Benturan kencang menghantam mobil kami. Entah apa yang terjadi, aku merasakan mobil ini terguling berulang-ulang. Suara Cindy, sahabat-sahabat aku, memecahkan telinga.
Sahut-menyahut meminta pertolongan Tuhan, aku dengar dengan jelas. Aku semakin erat memeluk Cindy, aku memanggil namanya untuk tetap bertahan. Tetapi tidak ada jawaban! Aku mencium keningnya. Aku pegang pipinya, ada air mata di sana. Cindy menangis dan aku merasa dia menaruh harapan yang besar untuk selalu bersama aku. Mobil berhenti berguling. Semakin lemah suara mereka sahabat-sahabatku terdengar. Aku memejamkan mata. Aku takut saat aku membuka mata ini nanti, aku tidak bisa melihat Cindy, Ayah dan yang lainnya lagi. Tiba-tiba sesuatu membentur kepala aku. Rasa sakit yang teramat dalam. Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi. Semuanya hilang begitu saja pagi dini hari. Aku, Cindy, Noval, Muss, Hendy dan Lukman mengalami kecelakaan di tol Cikampek.
***
Terdengar tangis seorang pria yang sudah aku hafal benar suaranya.
“Ayah, jangan nangis,” tangan kekar itu memegang erat jemariku.
“Abdi…” Ayah mengeluarkan suaranya yang terkadang membuatku menangis karena ketegasannya dalam mendidik.
“Tabah ya, Nak.” Ayah mengelus rambut aku dengan lembut. Dia memperlakukan aku seperti anak kecil dulu. Tangan yang mulai keriput termakan usia. Tangan yang merawat aku dengan kasih sayang, tangan yang mencari nafkah untuk aku dan adik-adik, tangan yang hingga kini masih berharap untuk menyekolahkan aku menjadi seorang dokter seperti yang dia inginkan. Aku ingin mengulang ini semua, aku ingin kembali seperti dulu.
***
Tiga bulan berlalu semenjak kejadian itu. Dan hampir satu bulan berita tentang kami muncul di media massa, baik cetak maupun elektronik. Bukan lagi prestasi yang kami goreskan untuk berita saat itu. Tetapi tentang kecelakaan kami. Tentang hancurnya formasi band kami karena kehilangan Muss sebagai basis, Noval sebagai gitaris dan Lukman sebagai drumer, band yang telah aku dirikan sejak kelas dua SMA. Tentang ditinggalnya ‘sang vokalis’ oleh kekasihnya. Hancurnya hati aku berkeping-keping menata semuanya kembali.
Inilah hari ke seratus semenjak mereka semuanya berpulang. Aku menangis untuk mereka sahabat terbaik aku. Aku menangis di pinggir pusara dan nisan yang mengukir nama Cindy Safriany. Kekasih yang telah bersama aku hampir sepuluh tahun. Kekasih yang bersama aku sejak kelas dua SMP, kini dia terbaring kaku di bawah gundukan tanah ini. Aku cinta dia. Entah sampai kapan aku bisa menemukan penggantinya. Seseorang yang selalu menjadi inspirasi tiap lirik lagu yang aku tulis.
Oh Tuhan…Aku tersadar, mungkin inilah yang dimaksud Cindy sebelum aku naik keatas panggung sewaktu Festival Musik di Bandung tiga bulan lalu. Pesan untuk sekarang, hari ini dan untuk seterusnya.
***
“Abdi, kamu harus mandiri. Kamu harus bisa cari manager lain, selain aku. Suatu hari nanti kalau aku nggak bisa mendampingi kemana band kamu pergi, kamu bisa tetap eksis tanpa aku.”
“Memangnya kamu mau kemana? Kamu nggak mau jadi manager aku lagi?” aku membentak Cindy karena kecewa dengan pernyataannya. Aku marah dan tersinggung.
“Bukan itu. Tapi aku juga harus kuliah. Aku juga punya impian seperti kamu. Kamu juga termasuk impianku, aku bisa membuat kamu menggapai mimpi sampai sekarang ini. Maka aku mohon dengan sangat sama kamu, bantu aku juga untuk meraih mimpi. Sampai tiba saatnya nanti kita akan abadi selamanya. Dalam mimpi aku dan kamu. Dalam mimpi kita berdua. Kamu menjadi pemusik dan aku menjadi seorang dokter yang juga menjadi impian ayah kamu. Biarlah aku yang menggantikan impian beliau, sayang.” Cindy memegang tangan aku dan mengangguk, tersenyum mempersilahkan aku menuju atas panggung.
Saat itu tidak ada jawaban dariku. Raut wajahku mengisyaratkan, betapa tidak ikhlasnya aku seandainya Cindy benar-benar pergi dari kehidupan aku selama ini. Tapi kini aku ikhlas. Cindy telah banyak membantu aku, membentuk karakter aku yang haus akan belaian seorang ibu. Cindy yang hampir separuh hidupnya membantu aku meraih mimpi. Tapi apa dengan aku terus menangisi kepergiaannya bisa membuat dia kembali? Ataukah aku bisa mewujudkan mimpinya? Tidak! Cindy tidak pernah bermimpi melihat aku terus meratapi mimpi! Cindy tidak pernah terima jika aku berhenti hanya sampai di sini! Cindy tidak akan terima melihat aku stuck! Berhenti di tempat! Dia tidak akan pernah rela!
***
*Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam Lomba Menulis Bulan Bahasa Oktober pada tahun 2001 yang diadakan Sekolah Menengah Farmasi se-DKI Jakarta dan meraih Juara III.

4 komentar:

  1. ndingnya menyebalkan,,,kenpa sediiiihhh hiks...g kan juga jd sedih:'(

    BalasHapus
  2. cerpen lo yg anak band itu standar, kurang spesifik... lo musti tambahin ttg genre bandny, merk gitar yg dy pake, kostumy dy, atau kalo bisa lirik laguny sedikit.. tapi endingny bagus, gw suka. ^^v -Irfan 'menskyd'rosandi-

    BalasHapus
  3. wahhhhhh klo gw pake merk gitar dsb, kostum dsb...kayany tlalu panjang, bisa2 buat novel bukanny cerpen :)

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentarnya....