Dari
sebuah buku saya bisa melihat dunia.
Dari
membaca sebuah buku saya bisa menggapai bulan.
Dari
menulis sebuah buku saya dapat memperkaya jiwa.
Mungin
ini quote yang sedikit berlebihan, karena
saya belum menerbitkan buku solo, masih sebatas antologi. Setidaknya antologi
pun saya dapat memperkaya jiwa. Bagaimana tidak? Kita bisa mengetahui segala
macam dunia dengan kekhasannya melalui buku. Bagai menggapai bulan saat
membaca, karena banyaknya makna yang terkandung. Dan dengan menulis saya tidak merasa
kesepian. Betapa kayanya jiwa saya. Saya bebas berimajinasi tanpa ada yang
melarang. Paling hanya terbatas pada pakem-pakem tertentu. Seperti tidak
mengandung SARA, pornografi, pornoaksi. Selain itu? Mari liarkan tangan untuk
menari di atas kertas.
“Jika kamu suka tulisan saya, saya
memang menulis untuk kamu. Jika kamu tidak suka tulisan saya, maaf! Saya menulis
memang bukan untuk kamu!” Lagi-lagi quote itu saya ambil
dari penulis senior Mas Putra Gara. Ya, quote
itu sangatlah saya.
Setiap
tulisan selalu punya pembaca dengan selera masing-masing. Si A mungkin jatuh cinta
dengan tulisan Si B, tapi belum tentu dengan Si C, Si D dan seterusnya. Bisakah
selera itu dipaksakan? Edan, menurut saya. Mungkin lisan bisa berkata, “Saya
suka tulisan kamu.” Bagaimana dengan batin? Hhhmmm, jangan menipu diri sendiri,
ah!
Menulis sesuka hati, mengikuti alir. Itu yang saya suka. Kadang saya menjadi apatis jika sedang menulis. Seperti kesurupan, bisa berjam-jam di depan laptop. Bahkan setelah tulisan itupun jadi. Selain itu apatis dengan tidak peduli orang mengatakan tulisan saya bagus atau jelek. Selagi kritikan itu membuat saya maju dengan tidak melemahkan dan menjatuhkan saya, akan saya terima. Tapi jika kritikan itu sudah sampai manjatuhkan atau bukan lagi mengkritik tulisannya tetapi lebih ke mengkritik orangnya, hhmmm. Stop! Jauh-jauhlah dari saya! Saya punya banyak guru yang mengkritik tulisan saya dari sisi yang postif.
Menulis sesuka hati, mengikuti alir. Itu yang saya suka. Kadang saya menjadi apatis jika sedang menulis. Seperti kesurupan, bisa berjam-jam di depan laptop. Bahkan setelah tulisan itupun jadi. Selain itu apatis dengan tidak peduli orang mengatakan tulisan saya bagus atau jelek. Selagi kritikan itu membuat saya maju dengan tidak melemahkan dan menjatuhkan saya, akan saya terima. Tapi jika kritikan itu sudah sampai manjatuhkan atau bukan lagi mengkritik tulisannya tetapi lebih ke mengkritik orangnya, hhmmm. Stop! Jauh-jauhlah dari saya! Saya punya banyak guru yang mengkritik tulisan saya dari sisi yang postif.
Sombong?
Boleh, dong! Itu cara saya meningkatkan kepercayaan diri. Membangun image sebagai penulis hebat. Meskipun seujung
kuku juga belum. Tapi dengan kepercayaan diri yang tinggi setidaknya saya bisa
lebih mendekatkan diri pada senior dengan menggali ilmu mereka. Lagi pula modal
utama penulis percaya diri, bukan? Saya pikir bukan hanya penulis, semua profesi
pasti menuntut percaya diri yang tinggi. Bagaimana bisa membawa karya atau
perusahaan kalau orang yang bersangkutan rendah diri dan malu menunjukkan apa
yang dia miliki dan dia kerjakan. Masuk akal?
So?
Menulislah, jangan ragu untuk ungkapkan apa yang dirasa. Sesungguhnya sejak
dulu kita memang terbiasa menulis. Menulis update
status di Facebook, Twiter, Plurk, ngetik sms dan lain-lain. Hanya saja “menulis”
ini lebih difokuskan apa yang ingin kita tulis. Poles-poles sedikit dengan
kata-kata indah, beri bumbu imajinasi, khayalan, pesona, menarik dan mudah
dibaca. Hasilnya? Taaarrraaa, kamu pun akan keget melihatnya. Lalu, bisakah saya menjadi penulis?
Salam, Bekasi’11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentarnya....