Oleh : Dyani T. Wardhyni
Memang tidak ada yang istimewa dengan tanggal 25 Juni, selain hari di mana aku berulang tahun. Tapi, apakah orang lain tahu, bahwa 25 Juni 2010 akan menyimpan banyak cerita indah? Bagaimanapun aku pernah melaluinya. Hanya satu kali seumur hidup, dan aku tidak mungkin kembali ke masa itu, walau zaman semodern apapun. Tanggal itu aku menjadi pacarnya. “Cinta monyet,” begitu kata mama.
“Erin, mau aku antar pulang?” Ariel menyamai langkahku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Aku melirik ke arahnya. “Erin, aku antar ya?” dia terus memaksaku. Aku membalas dengan senyuman. Aku suka dia. Aku mau sekali jadi pacarnya. Meskipun aku bukan cewek cantik dan pintar di sekolah, tapi aku punya kemampuan memikat cowok yang dekat denganku. Termasuk Ariel.
“Oke,” jawabku singkat. Sepanjang jalan kami bercerita ringan. Erin yang bawel bisa berubah menjadi patung dihadapan Ariel. Aku tersenyum dan menatap matanya yang menyimpan seribu rahasia.
“Ehm, kenapa senyum-senyum sendiri?” dia mendorongku pelan.
“Nggak apa-apa,” aku melempar pandangan kearah lain. Aku tidak mau dia tahu, mukaku memerah karena malu.
“Kamu mau jadi pacarku nggak?” tanyanya cepat tanpa basa-basi. Keringat dingin mengucur di dahinya, bukan karena masuk angin tapi karena gugup. “Erin, apa jawabannya?” dahinya berkerut, supaya tidak terlihat malu di depanku.
“Iya. Mau,” jawabku tersipu. Aku masuk ke rumah dengan muka menahan tawa. Seharusnya aku yang malu. Ariel masih terdiam di depan pagar. Dia tertawa kecil, melihat aku yang berlalu. Aku gembira menari-nari sendiri. Tanpa aku sadar beberapa menit Ariel masih berdiri di depan rumah.
Pagi menjelang, matahari yang biasanya membuatku kesal karena harus siap-siap ke sekolah berubah menjadi sesuatu yang aku tunggu. Bukan apa-apa, karena dengan matahari terbit, maka aku pergi ke sekolah dan bertemu pacarku. Setiap orang rumah aku beri salam dan senyuman. Bernyanyi-nyanyi kecil setiap kali ada kesempatan. “Semuanya tampak indah. Ya, beginilah, aku khan sedang jatuh cinta,” pikirku tiap hari.
Kebahagiaan yang aku tunjukkan bukan hanya di rumah. Setiap tetangga yang aku temui, aku sapa, tidak terkecuali tukang sayur, tukang roti sampai loper koran. Memang ritual ini setiap hari aku lakukan, menyapa semua orang. Tapi mulai hari itu ada yang berbeda, wajahku terlihat berseri-seri dan senyuman tidak pernah lepas dari bibirku. Begitulah hari-hari indahku selama satu tahun.
Besok aku merayakan satu tahun hubungan kami. Ini pertama kalinya aku dan dia merayakan hari jadi. Tidak di tempat mewah, tetapi yang penting bisa mengenang satu tahun masa-masa indah.
Sudah dua minggu dia tidak masuk sekolah. Dia juga tidak mau aku jenguk. Orang tuanya memberitahuku, dia sakit karena kelelahan. Ariel tidak mau aku menemuinya di kamar. Dia bilang, “Aku lagi gak ganteng, satu minggu belum mandi. Biar aku yang menemuimu.” Dia menyuruhku menunggu di taman Rumah Sakit. Aku akan menunggu, karena dia berjanji memberiku hadiah untuk esok hari.
Sore itu di taman Ariel membawakan sesuatu untukku. Sekotak mungil yang dia genggam di tangan kirinya dan dia angsurkan ke telapak tanganku.
“Bukalah saat menjelang tidur nanti,” katanya.
Aku tak sabar menanti malam. Aku ingin segera membuka kotak mungil berbungkus pink itu.
Kini malam telah menjelang. Kantukku mulai menyerang. Aku bersiap membuka kotak itu, ketika tiba-tiba ringtone yang aku setel khusus untuk Ariel berbunyi.
“Ya?” sapaku dengan heran.
“Beib, maaf... salah ngasih kotak. Jangan dibuka ya. Pliss.”
Omaygot...Jadi apa isi kotak ini dan untuk siapa? Aku marah dan rasanya tangan ini ingin melilitnya dengan selang infuse. Hancur hatiku berkeping-keping. Ariel mengkhianatiku. Aku yang marah mulai menyusun rencana. Besok aku akan menyemprotnya habis-habisan dengan seluruh amarahku.
25 Juni 2011. Sepulang sekolah, aku menemuinya di Rumah Sakit. Aku terkejut melihatnya masuk ICU. Melihatnya terbaring lemah. Aku bingung dan kalut. Mama melihatku sambil memegang kotak mungil yang sama.
Mama menyerahkan kotak itu. “Kata Ariel ini untukmu.” Aku hanya terdiam. Menukar kotak yang sama dari Ariel untuk mama.
Mama tersenyum. “Kita buka sama-sama ya. Begitu pesan Ariel ke Mama.”
“Iya,” jawabku singkat. Tanganku gemetar. Kotak sudah terbuka. Keduanya sama-sama berisi kalung, yang membedakan hanya liontin bertuliskan nama aku dan mama.
“Ariel memang penuh kejutan,” ungkap mama sambil tersedu.
Tiba-tiba suasana panik terjadi di sana. Ketika dokter dan para perawat berlarian memasuki ruangan Ariel. Mama semakin histeris. Lemas. Nafasku seakan berhenti. Seragam sekolahku bahasa karena keringat. Dan terjadilah, aku kehilangan dia.
Malam ini, di taxi yang membawaku pulang, tidak berhenti aku menangis. Sekarang, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Aku bersalah, telah mencurigai dia. Seharusnya ini menjadi hari terindah buatku. Aku ingin kembali Tuhan, tidak perlu untuk satu tahun yang lalu. Cukup kemarin. Satu hari, di mana dia memberiku kotak mungil dan meneleponku. Maafkan aku Ariel. Maaf.
*
Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Dadakan Story Teenlit Magazine Official Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentarnya....