Aku tidak tahu harus mulai ini dari mana. Terlalu banyak hal yang aku rasain selama kita bersama. Suka, duka, aku merasa kamu selalu ada untuk aku, aku tidak tahu apa kamu juga merasakan hal yang sama? Masih kamu ingat, saat aku menangis karena tersakiti pacarku? Kamu ada, membawaku pergi, menjemputku dari kampus, kita keliling-keliling dengan sepeda motormu. Saat itu aku menangis, dan sering kamu mengatakan tidak suka melihatku cengeng. Tapi aku beruntung, waktu itu kebetulan gerimis. Entahlah, kamu melihatku menangis atau tidak. Aku bertanya pada Tuhan, kenapa orang yang aku cintai saat itu bukanlah kamu? Aku menarik nafas panjang, ingatkah kamu kejadian yang menurutmu tidak terlalu penting tetapi sangat berarti untukku?
Kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Tapi, apa kamu tahu? Sedikit penyesalan yang ada di lubuk hati aku. Kenapa kita gak bisa bersama? Masih aku ingat dengan jelas, ketika mungkin kita pernah sama-sama tertarik. Aku menunggu kamu, tapi kamu memilih untuk tidak mengungkapkannya, aku kecewa, ada sedih di hati aku. Karena ketika itu, kamu terlambat mengungkapkannya. Kamu bilang di saat aku sudah memiliki seseorang yang saat itu benar-benar aku cintai. Padahal aku tahu benar, bahwa aku salah mencintai seseorang, sehingga aku lebih sering menangis dan meminjam bahumu.
Waktu berlalu Bon, kita berdua sama-sama sibuk, sibuk untuk jatuh cinta dengan orang lain. Sibuk untuk memahami orang lain. Sibuk mencari dan mencari yang terbaik. Saat itu aku mulai merasa tidak bisa mengganggu kamu setiap saat. Karena kamu juga memiliki kekasih saat itu. Aku tahu aku salah, keegoisan aku terlalu berlebih untuk memiliki kamu, meskipun aku juga sama seperti kamu, sudah memiliki kekasih. Hampir tiga tahun kita sama-sama saling melupakan. Hanya sesekali kita bertemu, dan berkirim sms atau telepon. Sekali lagi, waktu telah berlalu, aku putus dan kamu pun begitu. Entah apa yang menyebabkan kita sama-sama putus dari pasangan kita masing-masing. Tidak pernah ada cerita.
Aku lupa tepatnya kapan, tapi waktu itu aku mendengar bahwa mantan kekasih aku yang dulu begitu aku cintai memilih untuk menikah. Aku galau, aku tidak tahu harus berbagi dengan siapa. Entah mengapa aku memilih untuk kembali menghubungi kamu, menangis sekencang-kencang dari balik bantal. Berulang kali kamu bertanya kenapa aku menangis dan berulang kali aku menjawab aku tidak apa-apa, aku hanya ingin menangis. Lalu kamu berkata, “Akan mendengarkan aku menangis sampai aku puas.” Aku tidak berkata apa-apa, hanya bisa menangis dan terus menangis sampai aku lelah. Kamu terdiam di sana. Lalu kamu bilang, “Nangis aja sekarang! Gue gak mau ketemu lo kalau lo nangis! Apalagi nangis depan gue!” Aku suka kamu berucap itu, aku suka mendengar suaramu kembali.
Semakin hari, semuanya kembali terlihat lagi, aku menemukan kamu lagi yang dulu pernah hilang dari hati aku. Dan aku rasa kita masih sama-sama sibuk. Sibuk menutup lembaran lama. Kembali mencari belahan hati yang hilang. Kebetulan kita bertemu, kamu menceritakan tentang penyakit lever kamu. Kamu tahu aku begitu sedih dan takut? Aku benar-benar takut kehilangan kamu. Aku menangis saat kamu pulang dari rumahku. Aku mau kamu tetap ada di samping aku. Selamanya, dan jangan pernah berpikir sedikit pun untuk meninggalkanku.
Tapi, kini aku merasakan sesuatu. Kamu yang aku cari selama ini. Kenapa harus kamu? Aku membutuhkan seseorang yang senantiasa ada menemani aku, saat aku menitikkan air mata, seseorang yang ada saat aku membutuhkan bahu untuk bersandar. Dan aku baru tersadarkan saat ini, saat di mana aku melihat kamu dengan mata memerah di balkon rumah sakit, ada sedih di pelupuk mata kamu, aku ingin menjadi bahumu, biarkan aku ada untuk kamu setelah banyak hal yang sudah kamu berikan untuk aku.
Bon, dulu aku selalu bertanya-tanya kenapa kita nggak bisa bersama? Aku selalu mencari jawaban itu selama delapan tahun kita bersahabat. Aku tidak pernah menemukan jawaban itu. Seperti yang aku bilang sebelumnya kita terlalu sibuk dengan orang lain. Sampai kita tidak sadar, siapa yang ada di sebelah kita.
Malam di mana mama kamu masuk rumah sakit, dan kita berdua chatting, aku merasakan resah di hati kamu. Satu hal yang aku pikirkan, aku hanya ingin membantu kamu, aku mau menghibur kamu. Lagi-lagi karena kamu telah melakukan banyak hal untuk aku. Sungguh, aku tidak bermaksud apa-apa sewaktu aku ada di samping mama kamu. Ada hal yang membuat aku kecewa, saat kamu bilang, kamu sudah berutang budi sama aku. Bon, aku melakukannya tulus. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada untuk kamu. Aku tenang berada di sisimu hampir dua bulan belakangan ini, aku bahagia melihat kamu. Aku merasa telah menebus semua kebodohan aku di masa lalu, aku menyesal bon, aku menyesal telah membuang waktu aku bersama kamu.
Sekarang aku sendiri, dan akan belajar untuk mencobanya sendiri, tanpa kamu, bisakah aku mengulanginya Tuhan? Lebih baik aku dan dia jarang bertegur sapa dan bertemu, tapi hati kita selalu dekat, ketimbang sekarang aku dan dia sering bertemu, tapi hati kita berdua semakin jauh. Aku merasa kamu menjauhi aku, aku rindu kamu Bon, aku rindu di mana dengan bebasnya aku menyapa kamu lewat dunia maya, aku bilang kangen sama kamu atau apa saja. Tapi kini, menegur aku pun kamu tidak, aku merasa semua orang melihat ke arah kita berdua, sehingga kamu menjaga jarak.
Bon, aku rindu caramu menatap aku, cara kamu membuatku tertawa, cara kamu bercerita, cara kamu memberi perhatian. Aku harap kamu tahu itu. Bau tubuh kamu pun aku masih ingat. Apa salah aku? Atau karena mereka teman-teman kita yang sering menggoda kamu dan aku? Bukankah sudah pernah kita lalui ini selama delapan tahun, tapi kenapa baru sekarang kamu menjauhi aku? Tidakkah kamu sedikit pun merindukan aku? Jika memang aku yang terlalu bergantung membuat kamu merasa tidak nyaman untuk mendekati wanita lain, aku berjanji akan menjelaskannya. Tapi sekali lagi, sebutkan kesalahan aku agar semuanya jelas.
Aku mohon untuk tidak membenciku, aku berjanji akan menjadi sahabat yang terbaik untuk kamu, dengan cara apa? Dengan cara mengabaikan semua perasaanku. Sekarang papa, bunda, kakak, dan teman-temanku yang lain selalu bertanya tentang kamu. Apa yang harus aku katakan? Aku sudah tidak tahu lagi tentang kamu, bahkan bukan menjauhiku saja, semua teman-temanku juga kamu perlakukan sama. Bukan begitu, Bon?
Bon, aku menunggumu, aku benar-benar menunggumu kembali seperti dulu. Kita berdua harus berjanji. Berjanji untuk tidak melukai perasaan. Berjanji untuk mengabaikan semua rasa di hati ini. Sekali lagi aku berjanji. Aku berjanji menjadi sahabat terbaikmu, jika memang itu yang kamu inginkan. Baca surat aku ini, kelak saat kau membaca mungkin perasaanku sudah berbeda, aku sudah tidak lagi menyukaimu selain dari sahabat setia.
Bekasi, 31 Mei 2011
Dyani T. Wardhyni
Biodata penulis:
Dyani Tri Wardhyni (Dyne), lahir di Jakarta, 25 Juni 1986. Saat ini tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai apoteker. Bersahabat dengan Iqbal Maulana. Lahir di Jakarta, 14 Juli 1987. Saat ini bekerja di sebuah bank dan tinggal di Jakarta.
*Salah satu pemenang dari 10 surat terbaik dalam "Lomba Menulis Surat untuk Sahabat" yang diselenggarakan oleh www.divapress-online.com (http://blogdivapress.com/dvp/?p=1672).......*