Oleh : DyneTri
Salahku bila dia mati? Tidak! Dia yang tidak seberuntung aku, dia yang bodoh tidak bisa menunggu aku lebih lama lagi. Seharusnya dia bisa bersabar sampai aku datang membawa satu paket putaw yang diinginkan. Pasti sangat tidak menyenangkan merasakan sakau. Syukurlah bukan aku yang mati, dengan begitu barang yang baru saja aku beli bisa aku gunakan sendiri tanpa berbagi.
Malam kematiannya aku tertawa menahan tangis. Apa yang sedang terjadi? Seisi kamar seakan menyalahkanku. Dia mati karena aku! Aku yang mengajaknya pada duniaku. Sudahlah, toh aku tidak bertanggung jawab pada siapapun, bahkan kedua orangtuaku tidak peduli dan yang terpenting dia tidak pernah tahu anaknya mati karena apa.
Semakin lama aku semakin gila. Gila karena barang itu. Aku bergaul dengan orang-orang yang juga gila, aku menyebutnya seperti itu. Setiap hari hanya mabuk-mabukan. Tidak pernah lelah bertahan, mencoba untuk hidup keesokan harinya. Menjual barang-barang yang aku miliki hanya untuk memperoleh beberapa gram putaw, shabu dan ganja. Kosong sudah kamar ini, aku tidak peduli, kucuran dana ke rekening habis untuk pesta-pesta tiap malamnya. Kuliahku berantakan dan kupastikan masa depan akupun hancur. Lagi-lagi aku tidak peduli. Nikmatnya putaw tidak bisa menggantikan apapun.
Dengan setengah sadar aku terbangun, sesosok pria masuk tanpa pakaian ke dalam kamar. Dia pacarku, orang yang menemani pesta semalam suntuk yang berakhir di atas kasur. Aku lupa sudah berapa lama aku merayakan pesta dengannya. Yang aku ingat dengan jelas berawal sejak kakakku mati lebih dulu karena over dosis.
Jarum suntik di atas meja memanggilku untuk melakukannya lagi. Aku lelah. Tapi tidak berdaya. Hanya barang dan laki-laki itu yang mengerti. Terlena setiap hari pada dunia sendiri. Tanpa kusadari tubuh yang dulu sedikit berisi kini tinggal tulang belulang, mataku celong, rambutku kusam, kulitku kering, aku jelek sekali! Aku seperti monster! Tetapi pacarku tetap setia, menikmati putaw bersama tubuh yang seperti kain lusuh ini. Kamar yang penuh muntah kami berdua kian hari kian tajam baunya. Malam hari kami hidup dan pada pagi harinya kami terkapar seperti mati.
Saat itu aku benar-benar melayang. Pacarku mendapat beberapa kiriman putaw dari uang hasil merampok rekeningku. Kami benar-benar pesta dan inilah pesta yang sesungguhnya. Kali ini bukan hanya kami berdua tapi beberapa orang gila lainnya. Aku bahagia, menari-nari dalam mimpi. Jarum suntik yang tertanam di lengan tidak terasa apapun. Asap-asap yang melayang memenuhi kamar kost mengiringiku pada mimpi, khayalan dan akupun tertidur.
Aku meringkuk dipojok kamar yang sumpek. Aku benci matahari pagi. Sinar yang masuk melalui jendela kamar menusuk-nusuk dan mencabik-cabik tubuhku. Perut yang semalaman belum terisi sekarang terasa mual. Aku ingin muntah! Mengeluarkan seluruh isi perutku. Dengan langkah gontai dan mata menyipit aku berjalan menuju kasur tanpa seprai yang tergeletak di lantai. Pagi itu aku ingin mati! Aku sudah tidak kuat lagi! Jangan! Aku jangan mati dulu sebelum aku tersadar.
Aku terbangun, selang infuse terlilit di lengan kiriku, aku lemas sekali, tulang-tulangku sakit. Aku butuh udara, sesak di dada. Sekarang pacarku yang mati. Kenapa bukan aku saja yang mati? Akupun sudah lelah. Aku tidak pantas untuk hidup. Aku malu pada kakak , orangtuaku dan pastinya Tuhanku. Percuma bukan bila aku terus hidup? Tidak ada teman untuk berbagi, mereka semua mati! Aku takut merasakan sakau yang sakit luar biasa. Aku takut!
Tengah malam aku menjerit-jerit seperti orang gila. Semua badanku sakit. Tulang-tulangku remuk. Mataku terus berair. Hidungku perih. Kepalaku terasa berat dan sepertinya mau pecah. Aku muntah. Aku mulai susah menarik nafas, dadaku terlalu sakit. Aku meronta-ronta, melempar barang apapun di dekatku. Aku tidak segan lagi untuk melukai diri sendiri. Menyilet pergelangan tangan dan menghisap darah sendiri. Bahkan beberapa kali aku pernah meminum darah haid aku sendiri. Jijik. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak dapat berpikir dengan jernih, yang aku lakukan saat itu hanya berusaha agar tidak merasakan sakit dan sedikit untuk bertahan hidup.
Aku sudah merasakan sakitnya sakau, ternyata hampir saja merenggut paksa nyawaku, benar-benar terasa mau mati. Sakitnya sakau tidak sebanding dengan sakitnya hati ini. Kesepian tanpa siapapun, bahkan kedua orangtuaku. Mereka tidak pernah menganggap aku lagi. Aku tak berteman dengan siapapun kecuali mereka yang sama seperti aku, mereka yang mengabdikan diri untuk merawat kami hanya itu teman-temanku. Ah, sudah cukup, aku perlu konsentrasi untuk diriku sendiri, tanpa mereka orangtua aku bisa bertahan. Menyusun kembali impian-impianku yang dulu hancur. Kusatukan dengan hati-hati. Aku lelah berdiam diri, meratapi yang telah terjadi. Aku ingin berubah, dan aku harus berubah!
Hari-hari aku habiskan di tempat rehabilitasi. Menceritakan tiap kisahku kepada orang banyak melalui tulisan. Kutitipkan setiap lembar kepada petugas yang menjaga di panti rehabilitasi. Dia tertarik dengan semua tulisanku, tanpa aku minta dia yang mengirimkan karya-karyaku ke majalah. Aku si ex-user yang penuh khayalan, penuh cerita, penuh impian dan harapan. Aku mengajak setiap orang di luar sana untuk menghargai hidup yang ternyata terlalu indah untuk disia-siakan. Aku tidak berani keluar dari tempat ini. Aku takut dan teramat malu untuk bermasyarakat. Hukuman masyarakat adalah hukuman paling berat untukku. Dan mereka pasti akan menganggapku sampah. Karena itu hanya menulis yang biasa aku lakukan, mencoba menghilangkan rasa ketakutanku.
Terus dan terus berlangsung selama empat tahun. Godaan yang besar masih membayangiku. Apalagi saat bertemu dengan sahabat lamaku yang belum berubah. Sesekali aku berkunjung dan mengajaknya untuk “sembuh”. Tapi yang sering aku dapat hanya hinaan dan caci maki. Aku dianggap tidak setia kawan, aku dianggap pengkhianat dan mereka semua memusuhiku.
Aku terdiam berpikir sejenak. Aku mulai melakukan pendekatan dengan cara halus dan berakhir nol sampai dengan cara kasar. Aku menjebak mereka. Hasil yang aku dapatkan tidak berlangsung lama, mereka kabur dari panti rehabilitasi yang dulu “menyembuhkanku” dan sudah pasti mereka memusuhiku. Aku putus asa, tapi aku tidak menyerah sampai disini.
Cara lain yang mulai aku lakukan dengan memberikan buku berisi cerita-cerita tentang aku dan teman-teman yang dulu sama seperti mereka dan akhirnya sembuh. Jelas mereka menolak mana pernah junkie gemar membaca. Aku yang bodoh, mana pernah dulu aku juga senang membaca. Aku berpikir keras dan kini aku menunggu saja keinginan mereka untuk sembuh. Tapi tidak mungkin. Sedikit sekali dari mereka yang ingin sembuh. Lalu aku mencoba membuat film documenter dan memutarkannya kepada mereka, memberitahukan dampak negatif yang ditimbulkan.
Akhirnya mereka menciut. Mereka takut mati dan sama seperti aku, mereka takut merasakan sakau. Bola yang kulempar mendapat sambutan. Keinginan mereka untuk berubah mulai terlihat perlahan-lahan. Pendekatan melalui agama, sosial, aku dan teman-teman lakukan. Mereka mulai tahu, bahwa selama ini mereka salah.
Hampir satu tahun belakangan ini teman-temanku mulai ikut berubah. Aku belum bisa tersenyum puas. Karena aku tahu, bukan hanya mereka saja, masih banyak yang membutuhkan pertolongan aku dan teman-teman. Seharusnya orang-orang yang “salah” seperti mereka tidak dijebloskan ke dalam penjara. Karena bukannya mereka menjadi sembuh justru akan bertambah parah. Seperti yang aku tahu dan kita semua tahu bukan rahasia lagi seperti apa di dalam penjara itu. Kecewa aku benar-benar kecewa dengan apa yang terjadi.
Aku menarik nafas panjang. Bukan lagi pertanda lelah seperti dulu, justru aku merasa kurang dan kurang melakukan yang terbaik. Tapi mungkin Tuhan akan beri kesempatan lebih lama lagi.
Aku berdiri di terik panas matahari. Matahari yang pernah aku benci dulu. Bersama teman-teman yang dalam tahap penyembuhan aku membuat kembali film documenter. Aku tidak hanya diam menjadi penulis, sekarang aku mencoba menjadi sutradara meskipun hanya film documenter yang cuma ditayangkan saat seminar-seminar tentang narkoba dan bahaya-bahayanya. Aku berharap ini dapat berguna bagi mereka.
Dia terkapar lemas diatas tempat tidur. Lemas sekali. Badannya benar-benar kurus, daya tahan tubuhnya menurun. Dia bukan junkie lagi. Dia hanya sakit dan mungkin kali ini dia akan benar-benar mati. Sahabat yang selalu bersamaku, kini tekena AIDS. Entah dari siapa, dia sendiripun lupa.
Aku menyesal karena aku tersadar lebih lama dari yang aku inginkan. Seandainya aku bisa sembuh lebih cepat, mungkin saja aku bisa lebih cepat juga membantu orang lain untuk sembuh. Aku tidak terlalu banyak bicara dan sekarang saatnya bekerja. Biar mereka teman-temanku yang baru menggantikannya. Dia semakin terkapar dan tidak berdaya. Sampai tiba waktunya dia mati. Aku menangis. Baru kali ini aku menangis saat kehilangan. Aku benar-benar menyesal telah gagal meyelamatkan satu nyawa lagi. Tapi aku berdoa dan memohon semoga benar saja Tuhan memberikan aku kesempatan.
Aku terduduk di bangku, melihat sekelilingku. Mungkin tiba saatnya nanti akupun akan mati. Tapi yang jelas setelah aku membantu mereka, orang yang masih membutuhkanku, orang yang masih mempunyai banyak mimpi tapi tidak tahu harus kemana, orang yang membutuhkan teman dan aku ada untuk mereka. Menghilangkan semua rasa ketakutan selama ini. Mengembalikan hari-hari indah yang telah hilang. Aku ada untuk mereka.
****