Selamat Datang di "Coba Bercerita, Yuk!" Ada banyak makna di balik cerita, maka berceritalah melalui tulisan!

Rabu, 03 Juni 2009

Artikel : Fenomena Ponari, “Kebodohan Bangsa yang di Buat Anak Bangsa”

Oleh : Dyani Tri Wardhyni

(Mahasiswi FMIPA-Farmasi)

Muhammad Ponari, belakangan nama ini sering kita dengar diberbagai media cetak maupun elektronik. Siapa Ponari itu? Dukun cilik berumur 10 tahun asal Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang ini begitu terkenal bagaikan selebritis. Dalam situs pencarian_______google, dengan mengetik kata “Ponari” saja sudah banyak bermunculan tentang dukun cilik ini. Bahkan dari salahsatu blog yang saya baca tertulis bahwa angka pencarian dengan mengetik kata “Ponari” lebih besar dibandingkan dengan kata “Sarah Azhari” ini berarti popularitas Ponari lebih tinggi dibandingkan artis kontroversial itu. Ponari pun menjadi sosok yang paling dicari-cari. Mengapa bisa demikian? Ponari dukun cilik sakti ini dipercayai dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Bukan dengan sulap bukan pula dengan sihir, tanpa operasi, tanpa obat-obatan ataupun dengan air yang disemburkan kepada pasien yang selama ini biasa dilakukan oleh dukun-dukun lain. Tetapi pengobatan yang dilakukan hanya dengan menggunakan sebuah batu. Diselimuti istilah “Pengobatan alternatif” membuat Ponari menjadi banyak “Penggemar”, diantaranya mereka yang sudah putus asa terhadap pengobatan medis. Akhirnya Ponari pun menjelma bak seorang dokter, bukan dengan stetoskop atau alat medis lainnya, melainkan dengan sebuah batu bertuah yang dia dapatkan setelah tersambar petir. Hanya dengan sebuah batu? Banyak orang yang meragukan kehebatannya, tetapi kenyataanya Ponari tetap menjadi primadona, tentunya bagi mereka yang tidak menggunakan logika dan pada umumnya mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Setiap harinya Ponari didatangi pasien dari berbagai tempat kira-kira 5000-9000 orang, bahkan pernah mencapai angka 15000 orang. Pasien dengan angka yang fantastis untuk seorang dukun. Popularitas Ponari juga memakan korban jiwa, sedikitnya 4 orang tewas akibat terinjak-injak karena berdesakan. Fenomena Ponari ini juga merupakan tamparan keras bagi pemerintah. Bukan hanya adanya kegagalan dalam pelayanan kesehatan tetapi adanya eksploitasi anak oleh kalangan tertentu dan melencengnya dari hukum agama.

Dengan biaya kesehatan yang mahal membuat masyarakat memilih pergi ke Ponari daripada pergi ke dokter lebih baik pergi ke rumah Ponari daripada pergi ke rumah sakit ataupun Puskesmas. Hanya dengan seribu rupiah dan segelas air dapat menyembuhkan penyakit, pikir mereka. Padahal layanan kesehatan yang baik sebenarnya dapat mereka peroleh, apalagi kini pemerintah telah berupaya dengan program kesehatan gratis melalui Askeskin. Tetapi lagi-lagi pemerintah gagal menjalankannya, menurut beberapa media cetak dan elektronik telah terjadi praktek korupsi di berbagai rumah sakit, sehingga terjadi penggelumbungan biaya pada tagihan PT. Askes dan akibatnya telah terjadi pengurangan biaya kesehatan untuk rakyat miskin dan ujung-ujungnya biaya kesehatan masih tetap mahal. Lantas masih salahkah masyarakat yang kurang mapan hidupnya ini beralih mencari kesehatan dengan cara yang mudah dan meriah? Tetapi yang terpenting menurut mereka, mereka sendiri yang dapat merasakan adanya perubahan lebih sehat walaupun menurut logika hanya sebatas sugesti.

Mereka orang-orang disekitar Ponari memanfaatkan hal ini. Ponaripun dijadikan sebagai “alat pencetak uang” dengan “bekerja” mengobati, pada akhirnya waktu Ponari untuk bersekolah dan bermainpun hilang dan digantikan dengan mencelupkan batu bertuah kedalam tiap air yang dibawa pasiennya. Akhirnya hak asasi anak mulai terenggut, kebebasan yang seharusnya dimiliki anak-anakpun tidak didapatkannya lagi.

Disinilah orang-orang yang berperan dalam Komisi Nasinal Perlindungan Anak mulai turun tangan. Sebut saja Ka Seto, begitu antusias menolong Ponari yang tampak mulai lelah. Tapi toh ini tidak berlangsung lama, setelah praktek ditutup beberapa waktu, warga sekitar kembali bergotong royong membuat pagar, “Supaya pasien bisa lebih tertib dengan mengantri,” jawab salah seorang tetangga Ponari. Memang sejak dibukanya praktek banyak tetangga Ponari yang ikut ketiban rezeki. Tapi pemerintah daerah masih keberatan dibukanya kembali praktek Ponari dengan alasan menggangu aktifitas warga yang lain.

Perdebatan muncul tiada henti-hentinya, hal lain yang menjadi masalah adalah dengan dikaitkannya pada agama. Masyarakat kini lebih percaya pada batu tersebut dan Ponari yang dapat menyembuhkan penyakit. Tetapi mereka lupa bahwa yang sesungguhnya dapat menyembuhkan adalah Allah SWT semata. Dan Allah SWT memberikan berbagai macam cara menyembuhkan penyakit yaitu melalui ilmu kedokteran dan alternatif seperti ini. Tetapi sayangnya, semuanya itu dianggap berlebihan oleh masyarakat, mereka berpikir sudah tidak rasional. Bayangkan saja, air comberan bekas mandi Ponari pun diambil oleh masyarakat yang mengantri tapi tidak dapat bertemu dengan Ponari. Untuk apa air itu? “diminum dan dilulurkan pada bagian yang sakit,” jawab mereka. Kalau dipikir menurut logika kita, bagaimana mungkin bisa sembuh? Bisa-bisa malah menambah penyakit baru.

Belum selesai kasus Ponari dukun-dukun lain yang membuka praktek dengan cara yang sama dengan Ponari pun bermunculan. Sebut saja Dewi, ayahnya berkata bahwa bukan batulah yang menyembuhkan, tetapi warga yang datang diminta mengumpulkan air pada satu tempat yang kemudian diberi doa-doa oleh ayahnya Dewi. Tetapi lucunya pihak keluarga Dewi sudah mempersiapkan tenda, seperti sudah mengetahui akan membludaknya pasien yang percaya padanya. Jika ingin berobat kepada Ponari ataupun Dewi sebaiknya dengan iman yang kuat, jika tidak ingin berubah menjadi syirik.

Munculnya banyak dukun yang serupa dikarenakan berbagai pihak mengangkat masalah ini secara berlebihan baik melalui media massa maupun elektronik. Sehingga rasa penasaran masyarakatpun menjadi tinggi dan berbondong-bondong untuk mencoba pengobatan dan datang ketempat ini. Media elektronik dan media massa memang merupakan sumber informasi yang sangat baik untuk kita mengetahui berbagai hal, namun bagaimana dengan kasus seperti diatas? Dengan pemberitaan yang berlebihan justru membuat masyarakat semakin penasaran, semoga saja dengan peristiwa ini semua pihak dapat berbenah diri dan mengambil hikmahnya. Tetapi semuanya juga kembali kepada keyakinan masyarakat itu sendiri dan semoga saja logika masyarakatpun menjadi terbuka dan hal ini merupakan tugas kita bersama untuk memberi perhatian dan pengertian kepada mereka. Semoga saja. Amin. (dyn3).

2 komentar:

  1. ko artikel ni ga laku teh hehehehehe:P

    BalasHapus
  2. tau nih hennnnn.......gak ada yg suka artikel sihhhhh.....hehehheh
    nanti gw buat ahhhh artikel ttg kesehatan........

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentarnya....