Oleh : Dyani Tri Wardhyni
(Mahasiswi FMIPA-Farmasi)
Setiap harinya Ponari didatangi pasien dari berbagai tempat kira-kira 5000-9000 orang, bahkan pernah mencapai angka 15000 orang. Pasien dengan angka yang fantastis untuk seorang dukun. Popularitas Ponari juga memakan korban jiwa, sedikitnya 4 orang tewas akibat terinjak-injak karena berdesakan. Fenomena Ponari ini juga merupakan tamparan keras bagi pemerintah. Bukan hanya adanya kegagalan dalam pelayanan kesehatan tetapi adanya eksploitasi anak oleh kalangan tertentu dan melencengnya dari hukum agama.
Dengan biaya kesehatan yang mahal membuat masyarakat memilih pergi ke Ponari daripada pergi ke dokter lebih baik pergi ke rumah Ponari daripada pergi ke rumah sakit ataupun Puskesmas. Hanya dengan seribu rupiah dan segelas air dapat menyembuhkan penyakit, pikir mereka. Padahal layanan kesehatan yang baik sebenarnya dapat mereka peroleh, apalagi kini pemerintah telah berupaya dengan program kesehatan gratis melalui Askeskin. Tetapi lagi-lagi pemerintah gagal menjalankannya, menurut beberapa media cetak dan elektronik telah terjadi praktek korupsi di berbagai rumah sakit, sehingga terjadi penggelumbungan biaya pada tagihan PT. Askes dan akibatnya telah terjadi pengurangan biaya kesehatan untuk rakyat miskin dan ujung-ujungnya biaya kesehatan masih tetap mahal. Lantas masih salahkah masyarakat yang kurang mapan hidupnya ini beralih mencari kesehatan dengan cara yang mudah dan meriah? Tetapi yang terpenting menurut mereka, mereka sendiri yang dapat merasakan adanya perubahan lebih sehat walaupun menurut logika hanya sebatas sugesti.
Mereka orang-orang disekitar Ponari memanfaatkan hal ini. Ponaripun dijadikan sebagai “alat pencetak uang” dengan “bekerja” mengobati, pada akhirnya waktu Ponari untuk bersekolah dan bermainpun hilang dan digantikan dengan mencelupkan batu bertuah kedalam tiap air yang dibawa pasiennya. Akhirnya hak asasi anak mulai terenggut, kebebasan yang seharusnya dimiliki anak-anakpun tidak didapatkannya lagi.
Perdebatan muncul tiada henti-hentinya, hal lain yang menjadi masalah adalah dengan dikaitkannya pada agama. Masyarakat kini lebih percaya pada batu tersebut dan Ponari yang dapat menyembuhkan penyakit. Tetapi mereka lupa bahwa yang sesungguhnya dapat menyembuhkan adalah Allah SWT semata. Dan Allah SWT memberikan berbagai macam cara menyembuhkan penyakit yaitu melalui ilmu kedokteran dan alternatif seperti ini. Tetapi sayangnya, semuanya itu dianggap berlebihan oleh masyarakat, mereka berpikir sudah tidak rasional. Bayangkan saja, air comberan bekas mandi Ponari pun diambil oleh masyarakat yang mengantri tapi tidak dapat bertemu dengan Ponari. Untuk apa air itu? “diminum dan dilulurkan pada bagian yang sakit,” jawab mereka. Kalau dipikir menurut logika kita, bagaimana mungkin bisa sembuh? Bisa-bisa malah menambah penyakit baru.
Belum selesai kasus Ponari dukun-dukun lain yang membuka praktek dengan cara yang sama dengan Ponari pun bermunculan. Sebut saja Dewi, ayahnya berkata bahwa bukan batulah yang menyembuhkan, tetapi warga yang datang diminta mengumpulkan air pada satu tempat yang kemudian diberi doa-doa oleh ayahnya Dewi. Tetapi lucunya pihak keluarga Dewi sudah mempersiapkan tenda, seperti sudah mengetahui akan membludaknya pasien yang percaya padanya. Jika ingin berobat kepada Ponari ataupun Dewi sebaiknya dengan iman yang kuat, jika tidak ingin berubah menjadi syirik.
Munculnya banyak dukun yang serupa dikarenakan berbagai pihak mengangkat masalah ini secara berlebihan baik melalui media
ko artikel ni ga laku teh hehehehehe:P
BalasHapustau nih hennnnn.......gak ada yg suka artikel sihhhhh.....hehehheh
BalasHapusnanti gw buat ahhhh artikel ttg kesehatan........