Selamat Datang di "Coba Bercerita, Yuk!" Ada banyak makna di balik cerita, maka berceritalah melalui tulisan!

Jumat, 24 Juni 2011

Cerita Mereka : Sahabat yang Hilang Ditelan Waktu


Dear Balbon…..

Aku tidak tahu harus mulai ini dari mana. Terlalu banyak hal yang aku rasain selama kita bersama. Suka, duka, aku merasa kamu selalu ada untuk aku, aku tidak tahu apa kamu juga merasakan hal yang sama? Masih kamu ingat, saat aku menangis karena tersakiti pacarku? Kamu ada, membawaku pergi, menjemputku dari kampus, kita keliling-keliling dengan sepeda motormu. Saat itu aku menangis, dan sering kamu mengatakan tidak suka melihatku cengeng. Tapi aku beruntung, waktu itu kebetulan gerimis. Entahlah, kamu melihatku menangis atau tidak. Aku bertanya pada Tuhan, kenapa orang yang aku cintai saat itu bukanlah kamu? Aku menarik nafas panjang, ingatkah kamu kejadian yang menurutmu tidak terlalu penting tetapi sangat berarti untukku?

Kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Tapi, apa kamu tahu? Sedikit penyesalan yang ada di lubuk hati aku. Kenapa kita gak bisa bersama? Masih aku ingat dengan jelas, ketika mungkin kita pernah sama-sama tertarik. Aku menunggu kamu, tapi kamu memilih untuk tidak mengungkapkannya, aku kecewa, ada sedih di hati aku. Karena ketika itu, kamu terlambat mengungkapkannya. Kamu bilang di saat aku sudah memiliki seseorang yang saat itu benar-benar aku cintai. Padahal aku tahu benar, bahwa aku salah mencintai seseorang, sehingga aku lebih sering menangis dan meminjam bahumu.

Waktu berlalu Bon, kita berdua sama-sama sibuk, sibuk untuk jatuh cinta dengan orang lain. Sibuk untuk memahami orang lain. Sibuk mencari dan mencari yang terbaik. Saat itu aku mulai merasa tidak bisa mengganggu kamu setiap saat. Karena kamu juga memiliki kekasih saat itu. Aku tahu aku salah, keegoisan aku terlalu berlebih untuk memiliki kamu, meskipun aku juga sama seperti kamu, sudah memiliki kekasih. Hampir tiga tahun kita sama-sama saling melupakan. Hanya sesekali kita bertemu, dan berkirim sms atau telepon. Sekali lagi, waktu telah berlalu, aku putus dan kamu pun begitu. Entah apa yang menyebabkan kita sama-sama putus dari pasangan kita masing-masing. Tidak pernah ada cerita.

Aku lupa tepatnya kapan, tapi waktu itu aku mendengar bahwa mantan kekasih aku yang dulu begitu aku cintai memilih untuk menikah. Aku galau, aku tidak tahu harus berbagi dengan siapa. Entah mengapa aku memilih untuk kembali menghubungi kamu, menangis sekencang-kencang dari balik bantal. Berulang kali kamu bertanya kenapa aku menangis dan berulang kali aku menjawab aku tidak apa-apa, aku hanya ingin menangis. Lalu kamu berkata, “Akan mendengarkan aku menangis sampai aku puas.” Aku tidak berkata apa-apa, hanya bisa menangis dan terus menangis sampai aku lelah. Kamu terdiam di sana. Lalu kamu bilang, “Nangis aja sekarang! Gue gak mau ketemu lo kalau lo nangis! Apalagi nangis depan gue!” Aku suka kamu berucap itu, aku suka mendengar suaramu kembali.

Semakin hari, semuanya kembali terlihat lagi, aku menemukan kamu lagi yang dulu pernah hilang dari hati aku. Dan aku rasa kita masih sama-sama sibuk. Sibuk menutup lembaran lama. Kembali mencari belahan hati yang hilang. Kebetulan kita bertemu, kamu menceritakan tentang penyakit lever kamu. Kamu tahu aku begitu sedih dan takut? Aku benar-benar takut kehilangan kamu. Aku menangis saat kamu pulang dari rumahku. Aku mau kamu tetap ada di samping aku. Selamanya, dan jangan pernah berpikir sedikit pun untuk meninggalkanku.

Tapi, kini aku merasakan sesuatu. Kamu yang aku cari selama ini. Kenapa harus kamu? Aku membutuhkan seseorang yang senantiasa ada menemani aku, saat aku menitikkan air mata, seseorang yang ada saat aku membutuhkan bahu untuk bersandar. Dan aku baru tersadarkan saat ini, saat di mana aku melihat kamu dengan mata memerah di balkon rumah sakit, ada sedih di pelupuk mata kamu, aku ingin menjadi bahumu, biarkan aku ada untuk kamu setelah banyak hal yang sudah kamu berikan untuk aku.

Bon, dulu aku selalu bertanya-tanya kenapa kita nggak bisa bersama? Aku selalu mencari jawaban itu selama delapan tahun kita bersahabat. Aku tidak pernah menemukan jawaban itu. Seperti yang aku bilang sebelumnya kita terlalu sibuk dengan orang lain. Sampai kita tidak sadar, siapa yang ada di sebelah kita.

Malam di mana mama kamu masuk rumah sakit, dan kita berdua chatting, aku merasakan resah di hati kamu. Satu hal yang aku pikirkan, aku hanya ingin membantu kamu, aku mau menghibur kamu. Lagi-lagi karena kamu telah melakukan banyak hal untuk aku. Sungguh, aku tidak bermaksud apa-apa sewaktu aku ada di samping mama kamu. Ada hal yang membuat aku kecewa, saat kamu bilang, kamu sudah berutang budi sama aku. Bon, aku melakukannya tulus. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada untuk kamu. Aku tenang berada di sisimu hampir dua bulan belakangan ini, aku bahagia melihat kamu. Aku merasa telah menebus semua kebodohan aku di masa lalu, aku menyesal bon, aku menyesal telah membuang waktu aku bersama kamu.

Sekarang aku sendiri, dan akan belajar untuk mencobanya sendiri, tanpa kamu, bisakah aku mengulanginya Tuhan? Lebih baik aku dan dia jarang bertegur sapa dan bertemu, tapi hati kita selalu dekat, ketimbang sekarang aku dan dia sering bertemu, tapi hati kita berdua semakin jauh. Aku merasa kamu menjauhi aku, aku rindu kamu Bon, aku rindu di mana dengan bebasnya aku menyapa kamu lewat dunia maya, aku bilang kangen sama kamu atau apa saja. Tapi kini, menegur aku pun kamu tidak, aku merasa semua orang melihat ke arah kita berdua, sehingga kamu menjaga jarak.

Bon, aku rindu caramu menatap aku, cara kamu membuatku tertawa, cara kamu bercerita, cara kamu memberi perhatian. Aku harap kamu tahu itu. Bau tubuh kamu pun aku masih ingat. Apa salah aku? Atau karena mereka teman-teman kita yang sering menggoda kamu dan aku? Bukankah sudah pernah kita lalui ini selama delapan tahun, tapi kenapa baru sekarang kamu menjauhi aku? Tidakkah kamu sedikit pun merindukan aku? Jika memang aku yang terlalu bergantung membuat kamu merasa tidak nyaman untuk mendekati wanita lain, aku berjanji akan menjelaskannya. Tapi sekali lagi, sebutkan kesalahan aku agar semuanya jelas.

Aku mohon untuk tidak membenciku, aku berjanji akan menjadi sahabat yang terbaik untuk kamu, dengan cara apa? Dengan cara mengabaikan semua perasaanku. Sekarang papa, bunda, kakak, dan teman-temanku yang lain selalu bertanya tentang kamu. Apa yang harus aku katakan? Aku sudah tidak tahu lagi tentang kamu, bahkan bukan menjauhiku saja, semua teman-temanku juga kamu perlakukan sama. Bukan begitu, Bon?

Bon, aku menunggumu, aku benar-benar menunggumu kembali seperti dulu. Kita berdua harus berjanji. Berjanji untuk tidak melukai perasaan. Berjanji untuk mengabaikan semua rasa di hati ini. Sekali lagi aku berjanji. Aku berjanji menjadi sahabat terbaikmu, jika memang itu yang kamu inginkan. Baca surat aku ini, kelak saat kau membaca mungkin perasaanku sudah berbeda, aku sudah tidak lagi menyukaimu selain dari sahabat setia.

Bekasi, 31 Mei 2011

Dyani T. Wardhyni

Biodata penulis:

Dyani Tri Wardhyni (Dyne), lahir di Jakarta, 25 Juni 1986. Saat ini tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai apoteker. Bersahabat dengan Iqbal Maulana. Lahir di Jakarta, 14 Juli 1987. Saat ini bekerja di sebuah bank dan tinggal di Jakarta.

*Salah satu pemenang dari 10 surat terbaik dalam "Lomba Menulis Surat untuk Sahabat" yang diselenggarakan oleh www.divapress-online.com (http://blogdivapress.com/dvp/?p=1672).......*

Senin, 13 Juni 2011

Cerpen : Sekotak Cinta di Bulan Juni

Oleh : Dyani T. Wardhyni

Memang tidak ada yang istimewa dengan tanggal 25 Juni, selain hari di mana aku berulang tahun. Tapi, apakah orang lain tahu, bahwa 25 Juni 2010 akan menyimpan banyak cerita indah? Bagaimanapun aku pernah melaluinya. Hanya satu kali seumur hidup, dan aku tidak mungkin kembali ke masa itu, walau zaman semodern apapun. Tanggal itu aku menjadi pacarnya. “Cinta monyet,” begitu kata mama.

“Erin, mau aku antar pulang?” Ariel menyamai langkahku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Aku melirik ke arahnya. “Erin, aku antar ya?” dia terus memaksaku. Aku membalas dengan senyuman. Aku suka dia. Aku mau sekali jadi pacarnya. Meskipun aku bukan cewek cantik dan pintar di sekolah, tapi aku punya kemampuan memikat cowok yang dekat denganku. Termasuk Ariel.

“Oke,” jawabku singkat. Sepanjang jalan kami bercerita ringan. Erin yang bawel bisa berubah menjadi patung dihadapan Ariel. Aku tersenyum dan menatap matanya yang menyimpan seribu rahasia.

“Ehm, kenapa senyum-senyum sendiri?” dia mendorongku pelan.

“Nggak apa-apa,” aku melempar pandangan kearah lain. Aku tidak mau dia tahu, mukaku memerah karena malu.

“Kamu mau jadi pacarku nggak?” tanyanya cepat tanpa basa-basi. Keringat dingin mengucur di dahinya, bukan karena masuk angin tapi karena gugup. “Erin, apa jawabannya?” dahinya berkerut, supaya tidak terlihat malu di depanku.

“Iya. Mau,” jawabku tersipu. Aku masuk ke rumah dengan muka menahan tawa. Seharusnya aku yang malu. Ariel masih terdiam di depan pagar. Dia tertawa kecil, melihat aku yang berlalu. Aku gembira menari-nari sendiri. Tanpa aku sadar beberapa menit Ariel masih berdiri di depan rumah.

Pagi menjelang, matahari yang biasanya membuatku kesal karena harus siap-siap ke sekolah berubah menjadi sesuatu yang aku tunggu. Bukan apa-apa, karena dengan matahari terbit, maka aku pergi ke sekolah dan bertemu pacarku. Setiap orang rumah aku beri salam dan senyuman. Bernyanyi-nyanyi kecil setiap kali ada kesempatan. “Semuanya tampak indah. Ya, beginilah, aku khan sedang jatuh cinta,” pikirku tiap hari.

Kebahagiaan yang aku tunjukkan bukan hanya di rumah. Setiap tetangga yang aku temui, aku sapa, tidak terkecuali tukang sayur, tukang roti sampai loper koran. Memang ritual ini setiap hari aku lakukan, menyapa semua orang. Tapi mulai hari itu ada yang berbeda, wajahku terlihat berseri-seri dan senyuman tidak pernah lepas dari bibirku. Begitulah hari-hari indahku selama satu tahun.

Besok aku merayakan satu tahun hubungan kami. Ini pertama kalinya aku dan dia merayakan hari jadi. Tidak di tempat mewah, tetapi yang penting bisa mengenang satu tahun masa-masa indah.

Sudah dua minggu dia tidak masuk sekolah. Dia juga tidak mau aku jenguk. Orang tuanya memberitahuku, dia sakit karena kelelahan. Ariel tidak mau aku menemuinya di kamar. Dia bilang, “Aku lagi gak ganteng, satu minggu belum mandi. Biar aku yang menemuimu.” Dia menyuruhku menunggu di taman Rumah Sakit. Aku akan menunggu, karena dia berjanji memberiku hadiah untuk esok hari.

Sore itu di taman Ariel membawakan sesuatu untukku. Sekotak mungil yang dia genggam di tangan kirinya dan dia angsurkan ke telapak tanganku.

“Bukalah saat menjelang tidur nanti,” katanya.

Aku tak sabar menanti malam. Aku ingin segera membuka kotak mungil berbungkus pink itu.

Kini malam telah menjelang. Kantukku mulai menyerang. Aku bersiap membuka kotak itu, ketika tiba-tiba ringtone yang aku setel khusus untuk Ariel berbunyi.

“Ya?” sapaku dengan heran.

“Beib, maaf... salah ngasih kotak. Jangan dibuka ya. Pliss.”

Omaygot...Jadi apa isi kotak ini dan untuk siapa? Aku marah dan rasanya tangan ini ingin melilitnya dengan selang infuse. Hancur hatiku berkeping-keping. Ariel mengkhianatiku. Aku yang marah mulai menyusun rencana. Besok aku akan menyemprotnya habis-habisan dengan seluruh amarahku.

25 Juni 2011. Sepulang sekolah, aku menemuinya di Rumah Sakit. Aku terkejut melihatnya masuk ICU. Melihatnya terbaring lemah. Aku bingung dan kalut. Mama melihatku sambil memegang kotak mungil yang sama.

Mama menyerahkan kotak itu. “Kata Ariel ini untukmu.” Aku hanya terdiam. Menukar kotak yang sama dari Ariel untuk mama.

Mama tersenyum. “Kita buka sama-sama ya. Begitu pesan Ariel ke Mama.”

“Iya,” jawabku singkat. Tanganku gemetar. Kotak sudah terbuka. Keduanya sama-sama berisi kalung, yang membedakan hanya liontin bertuliskan nama aku dan mama.

“Ariel memang penuh kejutan,” ungkap mama sambil tersedu.

Tiba-tiba suasana panik terjadi di sana. Ketika dokter dan para perawat berlarian memasuki ruangan Ariel. Mama semakin histeris. Lemas. Nafasku seakan berhenti. Seragam sekolahku bahasa karena keringat. Dan terjadilah, aku kehilangan dia.

Malam ini, di taxi yang membawaku pulang, tidak berhenti aku menangis. Sekarang, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Aku bersalah, telah mencurigai dia. Seharusnya ini menjadi hari terindah buatku. Aku ingin kembali Tuhan, tidak perlu untuk satu tahun yang lalu. Cukup kemarin. Satu hari, di mana dia memberiku kotak mungil dan meneleponku. Maafkan aku Ariel. Maaf.

*

Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Dadakan Story Teenlit Magazine Official Group.

Kamis, 09 Juni 2011

Cerita Mereka : Sahabat Laraku


Oleh : Dyani T. Wardhyni

Aku mau cerita sama kamu dengan berapi-api. Sekarang aku banyak mengenal orang baru. Mereka semua hebat, dan aku punya 1000 cerita lainnya. Apa kamu masih mau mendengarnya? Hhhmm, mungkin saja tidak. Karena aku merasa kamu sudah berubah, kamu tidak seperti yang aku kenal dulu. Menurutmu, apa tebakan aku benar? Huhh, sudahlah. Kamu tidak menjawab. Sekarang perlukah kita berkenalan seperti sembilan tahun yang lalu? Aku mau dan aku tidak keberatan, asalkan aku bisa mengenal kamu lagi.

Sahabat, apa kamu masih ingat? Dulu kita berdua sama-sama sibuk. Sibuk untuk jatuh cinta dengan orang lain, sibuk untuk memahami orang lain, sibuk mencari dan mencari yang terbaik. Kini saatnya kita tersadar, kita kembali sibuk. Sibuk saling melupakan, sibuk saling menjauhi dan sibuk tidak mengenal satu sama lain. Dan itu terlalu menyakitkan buat aku. Bukanlah ini yang aku cari.

Kamu tahu aku ada di sana, menunggumu seharian. Mungkin langkahmu terlalu berat untuk menemuiku. Kamu sudah tidak bersemangat lagi seperti dulu. Kamu yang membuatku rapuh. Mungkin benar yang kurasa, aku rindu, rindu kamu yang menggebu. Tapi aku lupa, gemuruh di dadamu tak seperti dulu. Bukanlah aku yang terlampau ego, tapi waktu yang membuatku seperti ini. Aku hanya percaya pada diri sendiri, aku tidak peduli kamu. Kamu lelah akan basa-basiku. Kamu lelah menghadapi sikapku. Kini aku menyesal, jika memang aku yang bersalah. Kini aku rindu, jika memang harus aku lakukan.

Dan sekarang, apa yang bisa aku harapkan dari kata rindu? Bisakah dia membuatku bahagia? Cobalah kamu rasakan, bukan hanya rindu, tapi ada perasaan lain di sana. Rasakan, rasakan tiap detiknya, rasakan tiap menitnya. Apa benar hanya rindu? Aku tahu itu sakit, aku mengerti. Tapi aku candu karenanya. Tak bisa berhenti, walau sesaat. Bodohnya aku. Rindu yang tak berkesudahan ini membuatku hilang kendali. Kamu sahabatku, sahabat laraku.

Rabu, 08 Juni 2011

Info Lomba : Berhadiah Novel CDME Series


Aa Ceko lahir tanggal lima belas
Lahirnya di atas bantal
Aa Ceko, aku khan udah punya buku DIA ; MAT 2002 Gelas
Kasih dong aku buku Ah, Fatal!

Sudah besar jalan-jalan ke New Zeland
Ehh, perginya pakai baju koko
Aku juga mau buku Mat in Wonderland
Boleh yaaa Aa Cekoooo

Aa Ceko dan neng berduaan lagi senang-senang
Berduaannya naik odong-odong
Kalau nanti lomba aa Ceko, Neng yang menang
Jangan pada sirik dong……

Salam Dyne Kece... ^^,

Ikuti lombanya di -----> www.facebook.com/note.php?created&&note_id=10150269547321061&id=142793593941

Selasa, 07 Juni 2011

Artikel Sehat : Naik, Naik, Tekanan Darah Naik!


Hoooaammm, baru bangun tidur! Walah hari apa ini? Hari Selasa lagi? Gawat, saatnya Klinik Cendol! Kata Bunder, gak usah mandi udah cakep! Gerabak-gerubuk, lari-lari, baru inget kalau Selasa ini Baker jaga sendiri, karena Bunder lagi Pelatihan Estetika Medis. Jangan pada ribut! Mari dimulai….

Selamat Pagi semuaaaaaa…..Sempat cap cip cup Baker (mBAK apotekER Dyani T. Wardhyni) dan Bunder (BUNDa doktER Titie Surya) bingung mencari pembahasan. Tiba-tiba Baker Bunder mendapat keluhan dari Om Kepsek Mayoko Aiko dan Om Guru Donatus A. Nugroho yang stress karena ada penjurusan di sekolah tercinta, kebiasaan Jadoel yang suka nyemil garam, pengalaman Baker Bunder yang sudah dua hari ini mengaku sedih, belum lagi kerikil-kerikil kecil yang dirasakan Cendolers mengakibatkan stress, dan ini semua membuat tekanan darah tinggi. Maka dari itu Baker Bunder memutuskan membahas penyakit HIPERTENSI.

Rabu, 01 Juni 2011

Puisi 6 : Tentang Ibu



Sabarlah Sayang
ucapanmu laksana mentari di antara hujan
bertanya tak pedulikan hati
katamu hidup memang berat
bisakah aku menantangnya
melewati kelakar dan cemooh orang
menapaki lumpur yang kelam, hitam dan jijik
menerjang ombak pasang
menyisir rembulan malam
dan kau berkata, cobalah berjalan, nak
jangan khawatirkan aku yang renta berselimut kain lusuh
enyahkan rasa takutmu tenggelamkan dalam pasir
enyahkan dari pikiranmu yang hilang bersama air mata
langkahkan kakimu, busungkan dadamu
harapan itu ada, nak
mereka tidak membencimu, mereka hanya inginkanmu
menjadi pelangi diantara hujan dan badai
percaya padaku, lirih meyakinkan
Oleh : Dyani T. Wardhyni


Ibuku Seorang Pria
peluh dan air mata itu, tulang dan tubuh itu,
milikmu ibu
ada jiwa kuat di sana
melawan cobaan hidup
berjuang dan melindungi
kemana pria pujaanmu dulu
jejaknya sudah tak terekam
wangi tubuhnya tak lagi menggoda
cintamu tak lagi terpatri
kini kau seorang diri
merajut benang-benang asa
ditinggalkan dengan sesak di dada
dibalik sifat lembut, ada jiwa tegar di sana
kau kuat dan berani bagai pria
gagah dan bertanggung jawab bagai pria
siapa pengganti pria berselimut duka
aku tunjuk dia, wanita bertahtakan mutiara
dialah ibuku
dialah perhiasan terindah dalam relung jiwaku

Oleh : Dyani T. Wardhyni
Lentik
jemari menari-nari, di antara helai mentari
sunyi sepi gapai mimpi
alunan syahdu pujianMu, pengantar tidur putri kecil
tepat di sepertiga malamMu
ibu, damailah engkau
bait-bait doa aku panjatkan, pengganti lagumu dulu
bersama malam dan siang
aku sungguh merindumu
dekaplah aku, jangan lepaskan lagi
ibuku..
Oleh : Dyani T. Wardhyni

*Diikutsertakan dalam "Lomba Puisi Untuk Ibuku Oleh Hana Fransisca"